15 | Clockwise part 3 - Geben des Lebens

1.8K 95 12
                                    

Lea dan Sheila menikmati es krim. Mereka berdua sedang berada di sebuah cafe sehabis pulang dari sekolah. Dan satu orang lagi yang bersama mereka adalah Abelarch. Papa Bart, berjanji ingin mengajak Sheila ke studio miliknya untuk melihat beberapa lukisan hasil karyanya. Namun di jalan mereka mampir dulu untuk menikmati semangkuk es krim lezat, bertabur biji permen. Agaknya Abelarch memahami bahwa anak-anak seusia mereka perlu lebih banyak kalori daripada orang seusianya. Abelarch sendiri sebenarnya sekarang mencoba untuk menikmati kopi kental tanpa gula. Tapi sepertinya ada yang kurang, ia tak tahu apa. Beberapa hari setelah dari rumah Kriez, Abelarch memang mencoba untuk menikmati kopi. Hanya saja rasa kopinya tidak seperti apa yang dibuat Jamie. Abelarch tak tahu kenapa.

Dan seperti biasanya Abelarch masih menghindari bertemu dengan putranya. Ia tahu bahwa putranya tidak akan memaafkan atas apa yang terjadi kepadanya beberapa tahun yang lalu. Bahkan mungkin putranya sudah tidak lagi ingin mendengarkan penjelasannya lalu buat apa ia harus bertemu dengan putranya lagi dan bertengkar. Kriez mengetahui dia datang ke rumah untuk menemui Sheila, ia membiarkan hal itu. Wajar seorang kakek yang rindu dengan cucunya. Bahkan ketika Sheila minta ijin karena Abelarch ingin mengajaknya untuk melihat-lihat studionya, ia pun mengijinkan. Pekerjaan Kriez membuat ia sedikit lebih banyak menghabiskan waktu untuk lembur. Terkadang ia pulang larut malam sekali.

"Opamu baik ya?" ujar Lea menikmati suapan es krim kesekian kalinya.

"Iya, opa memang baik," jawab Sheila yang menjilati sendok es krim coklatnya.

"Ah, rasanya aneh," gumam Abelarch.

"Opa tak apa-apa?" tanya Sheila.

"Tak apa-apa, hanya saja rasa kopinya tak seperti kemarin," jawab Abelarch.

"Oh ya, opa. Ceritakan apa yang ada di studio!" desak Sheila.

"Nein, aku ingin kamu melihatnya sendiri. Aku tak ingin sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan malah tidak menjadi kejutan. Kalian sudah makan es krimnya?" tanya Abelarch sambil melihat arlojinya.

Sheila mengangguk. Lea buru-buru menghabiskan suapan terakhirnya. "Kami selesai!"

Setelah dari kafe, mereka pun menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil cadilac tua milik Abelarch. Di salah satu sudut kota Frankfurt ada sebuah studio seni milik Abelarch, bernama Der Abstract. Studio itu cukup besar, yang biasanya digunakan untuk pameran beberapa seniman. Begitu masuk ke dalamnya, mereka langsung disuguhi berbagai lukisan abstrak serta foto-foto yang dibuat dengan sentuhan profesional. Abelarch yang memang seorang seniman lukis ini yang merancangnya. Saat nama Abelarch Berg besar dulu, studio ini didapatkannya dengan mudah. Setelah ia berhasil melelang beberapa lukisannya dengan harga yang fantastis, ia pun mendirikan studio ini. Hampir setiap hari studio ini buka. Di tempat ini juga ada orang-orang dari seni teather menggunakannya. Tentunya masih dalam asuhan Abelarch, demikian juga dengan klub fotografi serta klub lukis yang terkadang Abelarch sendiri yang mengajarkannya pada kelas khusus.

"Jadi ini studionya? Keren!" seru Lea.

"Aku sudah dua kali ke sini tapi serasa baru pertama kali," ujar Sheila.

Abelarch melihat seorang pengurus studio menghampirinya. Dia seorang perempuan dengan rambut dikepang. Ada sommersprosen di hidung dan di bawah matanya. Membuat gadis ini lebih terlihat menarik bagi sebagian orang.

"Guten Tag, Mister Abelarch?!" sapa gadis tersebut.

"Ah, Gina. Guten Tag. Ada apa?" sahut Abelarch.

"Ada tamu di ruangan Anda," jawab Gina.

"Oh ya, sebentar. Gina, kenalkan ini cucuku dan temannya," Abelarch menunjukkan Sheila dan Lea.

          

"Aku Sheila," sapa Sheila.

"Aku Lea," sapa Lea.

"Wah, mereka cantik-cantik. Ngomong-ngomong apa kamu sehebat opamu?" ledek Gina dengan tersenyum.

"Kamu jangan salah, Sheila punya bakat yang luar biasa dalam bidang musik," ujar Abelarch.

Gina berkacak pinggang, "Baiklah Sheila, tunjukkan kepadaku kemampuanmu."

"OK, siapa takut," ujar Sheila.

"Baiklah kalian bersenang-senang dulu ya, aku harus ke ruanganku," Abelarch undur diri.

Sheila, Lea dan Gina pun kemudian masuk ke studio musik, sementara Abelarch pergi meninggalkan mereka untuk masuk ke sebuah ruangan yang khusus. Di atas papan pintu ada tulisan "ABELARCH BERG". Ketika masuk Abelarch mendapati dua orang ada di ruangan yang dimodel cukup unik itu. Kursi sofanya berbentuk seperti lekukan angka 8, dinding-dindingnya ada buku-buku yang mana raknya diatur mengikuti bentuk dari lukisan yang ada di dinding. Di salah satu sudut dinding bahkan ada lukisan kota Frankfurt dari atas.

"Guten Tag. Oh, siapa tamu kita ini?" sapa Abelarch.

"Saya Zack, teman sekantor putra Anda," jawab seorang pemuda gagah dengan jas abu-abunya.

Abelarch langsung menyalami, "Ah, teman Kriez. Satu kantor dengan Kriez?"

"Satu ruangan lebih tepatnya dan ini teman saya dari Indonesia. Namanya Safuan," ujar Zack memperkenalkan orang yang ada di sebelahnya.

"Indonesia, negeri yang jauh. Menantuku juga dari sana," ujar Abelarch sambil duduk di depan mereka.

"Oh ya?" tampak Zack agak terkejut. Ia tak menyangka teman sekantornya itu punya istri dari Indonesia.

"Apakah teman kita Safuan ini bisa bahasa Jerman?" tanya Abelarch.

"Tidak, ia tidak bisa. Kami berkomunikasi dengan bahasa Inggris," jawab Zack.

"Aku tidak bisa bahasa Inggris," Abelarch tergelak kemudian Zack juga ikut tertawa. Sedangkan Safuan hanya cengar-cengir tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Setelah itu Zack menjelaskan apa yang terjadi dengan bahasa Inggris. Barulah Safuan mengerti.

"Begini, langsung saja. Tadi ketika di kantor aku bertanya kepada Kriez apakah aku bisa mendapatkan lukisan yang bagus dari orang seperti dirimu. Kurasa nama besar Abelarch Berg bukan nama sembarangan bukan? Maka dari itulah temanku Safuan ini ingin punya sesuatu dari kunjungannya ke Frankfurt ketika kembali ke Indonesia nanti," terang Zack.

"Ach so, baiklah. Aku ada beberapa koleksi lukisanku yang memang belum terjual. Ayo ikut, siapa tahu kalian bisa tertarik!" Abelarch mengajak Safuan dan Zack. Mereka keluar dari ruangan pribadi Abelarch menuju ke sebuah ruangan yang disebut sebagai tempat Abelarch bekerja.

Ruangan ini ada tepat di samping kantornya. Begitu masuk bau cat menguar. Beberapa kanvas putih kosong masih tertumpuk dan tergeletak di pojok ruangan. Ada banyak lukisan-lukisan yang terpajang di dinding, beberapanya ditumpuk di sebuah rak, dan sebagian lainnya ada di pinggir ruangan. Abelarch kemudian menunjuk ke sebuah tumpukan kanvas yang telah diisi dengan lukisan. Ada sebuah lukisan yang cukup menyita perhatian dan itu terpampang di dinding. Safuan bergerak ke lukisan tersebut.

"Apa judul lukisan itu?" tanya Zack sambil menunjuk lukisan yang ada di depan Safuan.

"Aku beri judul 'Geben des Lebens'," jawab Abelarch. "Lukisan ini beraliran naturalisme. Satu-satunya lukisanku yang mencoba di aliran ini. Coba lihat kebanyakan lukisanku beraliran abstraksionisme dan surealisme. Hanya lukisan ini saja yang kucoba untuk memakai naturalisme."

Eine Tasse Kaffee und Regen | Kisah Secangkir Kopi dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang