Mencari Kebenaran
Sebelumnya saya Mohon Maaf dulu kalau2 ABang tersinggung. Soalnya, bagi saya tulisan ini rada2 lumayan panas. Hehe. Ceritanya, jam sepuluhan tadi ada teman di facebook yang menautkan sekaligus me-share-kan catatannya ke akun FB saya. Nah, Karena saya belum cukup ilmu mengenai naskah ini, jadi saya pengen penerangan dari Pak Andi. Boleh ya, Pak?
Sebab saya pernah dengar, hanya orang2 berilmu cukup yg diijinkan berdebat. Dilarang keras berdebat dengan orang yg bodoh dalam agama. Dan, bersikap mang2 atau membubuhkan keraguan dalam keyakinan hanya utk bersikap moderat juga dilarang. inilah AGAMA! Yang bikin aturan adalah Allah SWT, dan butuh ilmu yg cukup untuk memahaminya.
Terlalu banyak bicara agama tanpa ilmu, hanya akan menambah musuh. Akui saja kalau memang kurang ilmu, serahkan kepada ahlinya. Untuk urusan keyakinan, orang akan SIAP MATI karenanya. So don’t push it.
Sekian Bang.
Ayick
—————————–
Mencari Kebenaran Lewat Jejak Material Yang Bisa Kita Investigasi
Aku menyeruput kopi panas dengan nikmatnya. Seperti hari-hari lainnya, kota Edington di musim gugur selalu dicekam dingin yang menusuk. Segelas kopi panas beserta setungkup hamburger sudah menjadi menu yang luar biasa di Bed & Breakfast yang aku tumpangi ini. Sekarang aku berada di Skotlandia, wilayah utara Kerajaan Inggris Raya, di tahun 1903.
Dari bau harumnya yang khas aku sudah yakin bahwa biji kopi ini didatangkan dari kepulauan Nusantara. Lewat trading pedagang Inggris dan Belanda, kopi dari tanah ibu pertiwiku di bawa sampai ke mejaku. Sial, betapa jahatnya penjajahan. Sementara anak-anak bangsaku hidup dalam feodalisme dan kemiskinan, kekayaan tanahnya yang terbaik malah dinikmati orang luar.
Namun yang membuatku jauh lebih sedih adalah bahwa sampai sekarang masih berlangsung penjajahan dalam otak anak-anak negeriku. Sekalipun Indonesia telah merdeka 65 tahun, namun anak-anak bangsaku masih dijajah oleh isme-sme dari luar yang tidak sesuai dengan adab asli bangsaku.
Isme-isme yang tidak berjejak pada keragaman dan keunikan anak-anak negeri ini. Isme-isme yang hanya membuat otak anak-anak bangsa ini berkiblat jauh ke barat, entah ke mekkah ataupun ke yerusalem. Isme-isme yang membuat garis marka yang rigid antara mukmin vs kafir, haram vs halal, umat yang telah diselamatkan vs umat yang belum diselamatkan. Tidak perlu lagi disebut-sebut tentang syahwat kekuasaan, kemunafikan, korupsi, dan ketidakjujuran yang melekat di dalam otak para politikus dan agamawan kita yang meluluhlantakan sendi-sendi kemanusiaan bangsa ini.
Aku menghela nafas panjang. Penat dan perih rasanya nurani ini jika mengingat-ingatnya.
Belum juga habis kopi ini, terdengar ada keributan di luar. Lelaki dan perempuan berhamburan disusul dengan beberapa polisi berkuda menuju suatu tempat tak jauh dari B&B tempat aku menginap. Aku tertarik untuk melihat apa yang tengah terjadi.
Ternyata baru saja sesosok mayat ditemukan. Seorang janda cantik dan kaya berumur 40 tahunan ditemukan tergeletak di atas sofa di rumah mewahnya. Tidak ditemukan bekas tikaman atau cekikan di tubuhnya. Begitu pula tetangga terdekatnya tidak mendengar suatu percekcokan antara si korban dengan siapapun dari tadi malam. Namun dari cara ia meninggal sudah jelas ia mati tidak wajar.
Polisi berusaha menjaga-jaga agar warga tidak mendekati TKP atau menyentuh apapun yang bisa dijadikan alat bukti. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki kurus tinggi dengan Jaket selutut, dan bertopi aneh. Di bibirnya selalu terselip cangklong dengan asap yang mengepul tipis.
Ia adalah Sherlock Holmes, detektif terkenal yang dimintai tolong oleh Scotland Yard untuk mengusut kasus ini karena kebetulan ia sedang berada di Eddington. Dengan sigap ia memakai sepasang sarung tangan karetnya, mengeluarkan buku catatan kecil dan bolpen, serta tidak ketinggalan kaca pembesar dan mulai meneliti si korban.
Ia memeriksa tingkat kekerasan jasad si korban, mencari tahu sudah berapa lama sang almarhumah menjadi jasad ini. Ia mencari tanda-tanda di tubuh si korban yang bisa mengindikasikan apa yang sesungguhnya terjadi saat sebelum kematian tiba. Ia melihat apakah ada yang aneh dengan letak perabotan di ruangan itu. Adakah barang yang jatuh? Adakah barang yang terhilang? Adakah sidik jari tertinggal di tubuh si korban? Adakah sidik jari tertinggal di pintu? Di jendela? Apakah ada tanda-tanda kerusakan di pintu, jendela dsb. Adakah zat racun tersimpan di cangkir teh si korban yang belum selesai ia minum.
Ia mewawancarai dua orang pelayan dan seorang tukang kebun yang tinggal di rumah sang korban. Ia menganalisa, mengumpulkan hipotesa, membandingkan hasil hipotesa itu dengan catatan-catatan yang telah ada dan menarik kesimpulan. Dengan hati-hati ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada yang bisa membawanya pada sebuah kesimpulan.
Akhirnya setelah 2 jam investigasi berlalu, dengan dingin dan penuh keyakinan, ia mengatakan, “Kasus terpecahkan. Ini adalah pembunuhan ruang tertutup. Dan pelakunya adalah salah seorang pelayan sang janda dengan motif balas dendam pribadi. Ia menaruh sejenis racun cair di teh si korban karena si janda tersebut ternyata memiliki asmara terlarang dengan suami si pelayan. Dan dialah pelakunya.” Telunjuk tangannya mengarah kepada salah seorang pelayan itu. “Mrs. Manning, andakah pelakunya?” Perempuan berumur 30 tahun itu menunduk malu dan takut. Ia mengangguk dan menangis. Kasus terselesaikan sudah.
Semua orang bertepuk tangan. Begitu pula aku. Dan sang detektif melirik ke arahku dan mengedipkan matanya. Sementara asap dari cangklongnya mengalun di udara. Aku tersenyum.
Aku yang hidup 100 tahun setelah Sir Arthur Conan Doyle, tokoh real pencipta Detektif Sherlock Holmes, merasa bahwa teknologi di jamanku hidup, yaitu sekarang, jauh lebih canggih dan mengesankan dibanding ketika Doyle hidup. Beruntunglah kita yang hidup di jaman post modern dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik dari segi teknologi, analisa psikologi, dan metoda2 penyingkapan kasus kejahatan yang dikembangkan oleh para kriminolog.
Kita memiliki kamera pemantau, tes DNA, uji balistik jika kasus yang ditangani melibatkan peluru, deteksi ketahanan metal jika kasus itu melibatkan kecelakaan kendaraan, autopsy mayat, analisa kejiwaan dsb. Namun diluar perbedaan teknologi itu, pendekatan yang dilakukan untuk menyingkap suatu kasus adalah sama yaitu deduksi dan induksi.
Beruntunglah kita yang hidup dalam abad ketercerahan sains, sebab ilmu pengetahuan terus menerus memperluas cakrawala kita. Masa lalu yang dahulu nampak seperti misteri, sekarang semakin terbuka. Bagaikan detektif Sherlock Holmes yang tidak berada saat kejadian perkara namun ia mampu memecahkan kasus lewat investigasi material, begitu pula para saintis. Mereka tidak pernah hadir ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu, namun lewat investigasi material, pencarian materi2 yang mendukung, kemudian perumusan hipotesa dan korespondensi antara satu materi dengan materi lainnya, satu kasus dengan kasus lainnya, akhirnya mereka mampu menyusun suatu rangkaian penjelasan yang memungkinkan kita untuk mendekati apa yang benar2 terjadi di masa lalu. Dan apa yang terjadi rantai evolusi dan peradaban manusia.
Pencarianku akan makna hidup membawaku pada penelitian sejarah agama-agama, budaya, tata nilai, evolusi, spiritualitas dan ternyata itu semua bermuara di evolusi otak kita.
Adakah engkau di surga sana oh tuhan? – Tidak, aku ada dalam otakmu.
Menurut para neurosaintis otak kita yang terdiri dari triliunan neuron ternyata adalah hasil evolusi selama berjuta-juta tahun. Secara fungsi otak dikelompokan menjadi 3 bagian utama, yaitu:
Lapisan pertama dan tertua : batang otak, disebut juga otak reptilian, karena fungsinya sama seperti otak banyak spesies reptile. Fungsi utama bagian ini menjalankan aktivitas dasar, sederhana & otomatis, seperti bernafas, detak jantung, sirkulasi udara, siklus metabolisme. Juga mengontrol daya flee or fight / kabur atau tempur. Itulah kenapa ada sindiran ‘otak kadal’ bagi orang-orang yang cenderung suka memamerkan kekerasan fisik tapi ngacir kalau yang dihadapinya lebih jago dan kuat darinya.
Lapisan kedua : daerah limbik, bentuknya seperti helm yang mengelilingi batang otak. Jalur saraf yang lebih rumit ini memampukan otak si spesies untuk menjalankan kegiatan menyediakan makanan, perlindungan, ketrampilan bertahan hidup. Bagian otak ini menambahkan kesan-kesan emosi pada si spesies itu yang lebih luas dari pada flee or fight, seperti perasaan tertekan, lapar, senang, membedakan bebauan, membaca niat binatang lain lewat postur tubuh, gerak, tatapan mata, ekspresi wajah. Bagian Limbik ini ada pada binatang vertebrata.
Limbik terdiri dari 2 hippocampus (kanan-kiri) yang berfungsi untuk merekam memori, dan Amygdala yg berfungsi merasakan emosi dan ingatan2 emosional. Sekarang kita memahami mengapa binatang2 seperti gajahm, beruang, kuda, zebra, dll mampu memperlihatkan emosi dan kasih sayang yang mendalam ketika merawat anak-anaknya dan memperlihatkan ekspresi bersedih manakala anak atau anggota klan nya dimakan singa atau mati. Emosi2 sedalam itu tidak dimiliki oleh binatang2 reptil. Kenapa? Karena otak mereka tidak memampukan mereka untuk merasakan emosi yang mendalam.
Lapisan ketiga, neokorteks, lapisan ini hanya dimiliki oleh mamalia, berfungsi untuk memberikan alasan, membuat perencanaan, memberikan respons emosi yang cocok. Dan pada spesies homosapiens, neokorteks ini berkembang menjadi system yang kompleks dan lebih besar yang memampukan mereka untuk membayangkan, mencipta, mengerti dan memanipulasi symbol. Kemampuan neokorteks ini yang dalam peradaban, menyediakan kita kemampuan untuk berbahasa, menulis, melukis, mengerti matematika, mengapresiasi seni, mengkonstelasikan konsep-konsep, merasionalisasikan emosi, mencari makna hidup dsb.
Neokorteks ini dalam otak manusia, yang bervolume lebih besar dari pada mamalia lainnya, memampukan kita untuk mengabstraksikan tata nilai apa yang baik dan tidak baik, bermoral dan tidak bermoral, jahat atau tidak , dan juga memampukan kita membayangkan kehidupan yang ideal, abadi, tiada kemalangan dan kematian, yang semua itu dikonsepkan berdasarkan materi yang ada di sekitar kita.
Dari evolusi manusia keluarlah hasrat2 untuk melakukan kebajikan, dan kemuliaan, dari evolusi manusia sendiri hadirlah keinginan2 dan keserakahan yang menelurkan kejahatan. Konsep2 kebaikan dan kejahatan inilah yang menciptakan agama dan tata nilai. Dan pencarian antara misteri keterhubungan antara eksistensi manusia secara personal dengan sesama dan alam, itulah yang menjadi hasrat mendasar spiritualitas.
Jadi adakah engkau di surga sana oh tuhan ? Tidak, aku ada di dalam otakmu.
Pada mulanya adalah bertahan hidup.
Dulu… dulu… dulu sekali pada waktu nenek moyang kita memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan hidup lamanya yaitu bergelantungan di dahan2 pohon yang tinggi dan mulai ke hidup di atas tanah (inipun terpaksa dilakukan karena ada suatu kejadian alam yang membuat pasokan makanannya diatas pohon mulai menipis), mereka menyadari kalau mereka tidak bisa lari secepat cheetah, tidak punya tenaga sekuat gajah, tidak punya penglihatan setajam rajawali, tidak punya cakar setajam cakar singa, maka dengan sendirinya mereka berkelompok untuk bertahan hidup.
Dengan tumbuhan dan daun-daunan yang mereka dapat, dan daging dari hewan2 lain yang lebih kecil mereka bertahan hidup. Kita bisa lihat contoh nyata dari simpanze, aktivitas mereka kebanyakan tidak diatas pohon, tapi di atas tanah, dan kadang makan, semut, kutu, belatung bahkan memangsa monyet lain yang jadi musuh kelompok mereka.
Dengan pola makan yang baru dan bervariasi itu, yaitu gabungan antara tumbuhan dan daging dari hewan buruan, maka sedikit demi sedikit dalam rantai generasi yang begitu panjang, kebiasaan ini menambah kadar protein dalam otak mereka yang nantinya menambah volume tubuhnya, memperkuat rangka tubuhnya, volume otaknya, dan memperkuat jaringan2 sel di dalamnya untuk memampukan diri mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Melalui perjalanan evolusi yang panjang dan berliku, sel-sel dalam otak spesies yang nantinya menjadi manusia ini, semakin diperkaya dengan pengalaman2 berburu, melarikan diri dari musuh, hubungan interpersonal dalam komunitasnya. Kehidupan di atas tanah, dan bukannya di atas pohon, sedikit demi sedikit merubah rangka tubuh mereka. Mereka jadi mampu berdiri lebih tegak, mampu mengkoordinasi tangan, kaki dan bibir yang memampukan mereka untuk berjalan lebih jauh, bergerak lebih anggun dan memiliki kemampuan baru, berbahasa verbal. Semua kekayaan baru ini menanamkan ‘kode genetik’ dalam gen untuk generasi-generasi mendatang lewat cara berkelamin.
Tuhan – suatu konsep yang terus berevolusi.
Bayangkan, pada jaman purba ketika manusia masih tinggal di gua2. Mereka merasa takut dan gentar akan alam ini. Mereka tidak sanggup mengalahkan ganasnya alam. Hujan yg lebat, guntur yang meraung-raung, kilat yang sabung menyabung. Dalam ketakutan, ketidak mengertian dan ketidakberdayaan mereka menganggap ada suatu kekuatan dibalik semua fenomena alam ini. Yang berkehendak sendiri-sendiri, lepas dan berkuasa atas alam dan manusia. Kita menyebut keyakinan ini sebagai dinamisme. Keyakinan akan adanya suatu kekuatan-kekuatan otonom yang lepas berkehendak dibalik fenomena2 alam.
Baru sampai jaman manusia Neanderthal, manusia mulai menemukan konsep tentang adanya keberlanjutan hidup. Mereka percaya bahwa manusia yang mati, atau semua binatang yang mati, mempunyai kehidupan setelah kematian dalam suatu dunia antah-berantah.
Para paleontolog menemukan situs-situs dimana manusia Neanderthal menguburkan kerabatnya yang telah mati. Dalam kuburan ini manusia didudukan persis dengan bayi di dalam kandungan, Karena mereka percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari fase hidup melainkan suatu fase awal untuk suatu kehidupan berikutnya lagi. Dan mereka yang telah mati, tinggal bersama kita dalam dimensi yang lain. Mereka tinggal di hutan, di danau, bahkan dalam alat2 berburu dan berperang mereka. Ada keterhubungan erat antara mereka yang telah meninggal dan alamnya yang khusus dengan kita yang masih hidup di alam raga ini, yaitu diantaranya untuk menjaga kita keturunannya dalam menghadapi bahaya. Mereka menjadi karuhun, dan kita jadi cucu-cucu kesayangannya.
Keyakinan ini disebut spiritisme dan animisme. Sampai sekarang animisme dan spiritisme dipraktekan secara luas dalam kebudayaan dunia. Keyakinan akan keharusan untuk membuat sesajen sebelum membangun rumah / pabrik, berasal dari keyakinan ini.
Kemudian, setelah manusia2 menetap dalam suatu komunitas, di tepi pantai, di gunung, di hutan, di gurun, dsb. Manusia mulai menemukan paham baru, yaitu politheisme. Secara tidak sadar dinamisme dan animisme dipersonifikasikan jadi dewa-dewa lokal dimana mereka bernaung. Ada dewa pohon, dewa hutan, dewa sungai, dewa gunung, dewa gurun, dewa lembah. Dsb. Setiap tempat memiliki dewanya sendiri.
Semakin kompleks suatu komunitas, semakin banyak dewa-dewa sesembahan mereka, sebagai cermin dari pengharapan dan ketakutan mereka, ada dewi kesuburan, dewa peperangan, dewa kesembuhan, dewi percintaan dsb. Setiap aspek psikologis manusia yang sukar dijabarkan lewat uraian kata dipersonifikasikan dalam citra dewa-dewi.
Ketika komunitas2 lokal ini bertumbuh menjadi kerajaan-kerajaan, begitu pula dewa-dewa itu ditempatkan dalam suatu hierarki, dewa yang tertinggi menjadi dewa utama / raja contoh zeus, dewa indra, sedangkan dewa yang lebih kecil / inferior menjadi dewa2 suruhan / dewa2 perang.
Dalam pemahaman yahudi, kristen dan islam dewa utama itu adalah yahweh / allah bapa / allah swt dan dewa2 yang lebih rendah adalah para malaikatnya. Tidakkah anda menemukan kesejajaran antara konsep kerajaan dengan konsep ketuhanan?
-raja – dengan tuhan yang bertahta di surga,
-perdana mentri dengan Gabriel / Jibril
-kepala pasukan dengan Michael atau Mikail.
-dayang dengan para seraphim & kerubim?
Begitu pula surga selalu digambarkan sebagai istana penuh dengan air mancur dan bidadari berseliweran disana-sini. Tidakkah ini penggambaran kaum padang gurun yang merindukan tempat teduh yang melimpah dengan air dan pepohonan sejuk serta ekstasi ragawi?
Ketika kerajaan2 itu berperang dengan motif-motif politis dan geografis, mereka membawa serta dewa2 mereka. Dan dewa dari suku yg menang dalam peperangan menjadi dewa pemenang, dewa yang lebih superior dari pada dewa suku yang dikalahkan.
Dalam hal ini maka mengkerucutlah dewa-dewa ini menjadi suatu hierarki yg lebih rigid. Itulah sejarah dari politheisme menjadi monotheisme. Namun ada kalanya justru dewa dari suku yang kalah justru dianut oleh suku yang menang. Namun demikian kasus seperti itu kecil. Biasanya apa bila dewa-dewi dari suku yang kalah lebih beragam dan kaya makna, maka dewa-dewi tersebut diasimilasi ke dalam pantheon dewa-dewi suku yang menang.
Dari politheisme, hanya perlu selangkah lebih lanjut menuju monotheisme, yakni dogma yang diusung oleh kekuasaan, yaitu kehendak politik para raja yang mendukung suatu agama tertentu. Agama sang raja haruslah jadi agama si rakyat. Bukankah ini terjadi bahkan sampai saat ini?
Jadi jelas bahwa penggambaran tuhan berasal dari konsep manusia sendiri tentang kehidupannya. Seberapa jauh manusia memahami alam, hidup dan keterhubungannya dengan alam dan sesama, maka sebegitulah pemahaman tuhan mereka.
Maka dari itu tuhan selalu digambarkan berbeda-beda. Ada tuhan yang jijik dengan perempuan, itu karena budaya si komunitas pengusung keyakinan itu adalah budaya male-chauvinistik, budaya yang mengagung-agungkan lelaki dan merendahkan perempuan. Ada tuhan yang pemurka, dan menyuruh si nabinya menghabisi lawan-lawan politiknya. Itu karena komunitas si nabi sedang terpojok, sehingga tuhan yang dicerminkannya adalah tuhan pemurka. Ada tuhan yang menyukai sesajian hewan tertentu, semacam kambing dan domba. Ada tuhan yang lebih manusiawi dan senang tari-tarian, itu karena para pengusungnya adalah komunitas yang ceria.
Jelas bahwa manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya. Manusia-lah yang menyapa tuhan, bukan sebaliknya. Sebab jika kita mengandaikan ada suatu tuhan yang berfirman ini dan itu, seharusnya firmannya itu bisa diverifikasi. Mari kita datangi tuhan, apakah benar ia pernah berbicara kepada nabi ini dan itu dan memfirmankan demikian dan demikian.
Jika saya bisa gambarkan maka perspektif manusia akan konsep tuhan adalah bagaikan segi tiga terbalik yang terbuka bagian dasarnya (yang sekarang ada di atas). Puncaknya, atau titik pertemuan dua garis, ada dibawah, dan itulah manusia. Sedang bagian yang di atas itulah konsep tuhan.
Seberapa besar pengetahuan material dan kebijaksanaan si manusia /masyarakat tersebut semakin luas derajat atau spectrum bagian bawahnya yang berarti semakin luas pula bagian atasnya. Sebaliknya, semakin kecil dan picik, sumpek dan dangkalnya semakin mengkerucut tajam dan sempit sudut spektrumnya dan semakin kecil pula horizon dibagian atasnya.
Selama ini pemahaman manusia beragama, terutama agama monotheistik, telah keliru karena menganggap pemahaman manusia akan alam bagaikan segitiga dimana titik pertemuan di atas adalah tuhan, sedang bagian dasarnya adalah manusia. Dan karena perspektif ini mengerucut ke atas maka semakin ke atas semakin sempit. Maka dari itu tidaklah mengherankan kita melihat dalam agama dogmatik, semakin ia merasa dekat kepada tuhan, seseorang semakin ia sempit pikirannya karena ia sudah merasa di atas dan berhak mengatur-atur orang di bawah.
Dalam terang pemahaman di atas adalah jelas bagi kita bahwa tuhannya agama adalah idea. Tuhan bukan sesuatu di luar sana, di atas sana yang bertitah ini dan itu. Tuhan ada di dalam pemahaman di otak kita. Dan seberapa jauh dan lembut pemahaman tuhan itu, tergantung dengan seberapa manusiawinya kita, seberapa dalamnya keteduhan batin kita, seberapa luas pemahaman kita tentang alam dan sesama mahluk.
Jadi tuhan itu tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana, yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan malaikat. Sebab kalau tuhan berpribadi macam itu ada, maka ia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan manusia ciptaannya sendiri, serta bertanggung jawab atas kekacauan dan kekejaman yang terjadi dalam peradaban manusia dalam sejarah peperangan agama2.
Tuhan yang dipahami oleh manusia adalah konsep untuk menunjukan adanya nilai2 kebaikan dan keburukan. Jika ia adalah konsep / abstraksi maka yang terpenting bukan konsepnya itu sendiri, melainkan makna idea dibalik itu. Anda boleh memakai konsep ini atau itu, atau tanpa konsep agama sama sekali, yang penting anda mendapatkan makna hidup dalam kehidupan ini.
Itulah kenapa note saya sebelumnya, saya katakan bahwa saya merindukan Indonesia baru dengan beragam pemikiran, baik itu dinamisme, animisme, politheisme, monotheisme, agnotisme, atheisme dsb. Asalkan mereka diikat dengan adab, dan nilai2 kemanusiaan yang menghargai hidup. Biarlah setiap insan berdialektika dalam memaknai hidupnya. Ia memilih apa yang ia anggap layak dipercayai sepanjang itu tidak meniadakan hak2 orang lain untuk meyakini dan tidak meyakini sesuatu.
Konsep agama yang diusung oleh seseorang sebenarnya merefleksikan persepsi orang tersebut akan dirinya, alam, dan keterhubungan kesagalaan yang ada. Jikalau itu hanya refleksi atau abstraksi dari persepsi maka tidak ada kebenaran obyektif di sana. Sebab kebenaran obyektif memerlukan verifikasi yang didasari oleh metode-metode keilmuan yang bersifat empiris dan rasional. Adakah agama yang mampu menjawab tantangan pembuktian empiris?
Pada jaman lalu, manusia mempercayai bahwa alam semesta dibagi menjadi 3 lapisan besar, lapisan atas yaitu surga / arsy dimana tuhan bertahta, lapisan tengah yaitu bumi dimana manusia hidup, dan lapisan bawah adalah alam kematian di mana roh-roh orang yang telah mati dan dianggap tidak layak masuk surga – disiksa di sana. Sementara di antara surga dan bumi para malaikat / dewa dan iblis sibuk berperang memperebutkan pengaruh atas manusia.
Dalam worldview yang sesederhana itu, maka mitos2 seperti kejatuhan adam dan hawa, pengusiran dari firdaus, bencana air bah, rencana pembangunan menara babel oleh Namrud, pengiriman tulah2 ke Mesir, kenaikan Musa dan Elia ke surga, kebangkitan dan kenaikan Yesus, isra miraz Muhammad, perjalanan Zoroaster ke surga, kunjungan Buddha dan murid2nya ke surga 33 langit bisa dipahami.
Namun dalam pemahaman manusia modern, dimana cakrawala pengetahuan kita lebih luas, masih bisakah kita mempercayai kisah2 ini sebagai kejadian factual dan historis? Bukankah kejadian itu akan menimbulkan pertentangan dari hukum2 fisika, kimia dsb karena jasad kita tidak memungkinkan untuk melintasi langit. Apa lagi kita tahu kalau di atas hanyalah ruang hampa luas.
Kisah-kisah diatas hanya bisa dipahami sebagai mitos, dimana dari kisah2 itu si penutur kisah menyampaikan tujuan dan pemahamannya berdasarkan kepentingan ideologi, budaya, politik,dsb.
Keyakinan akan adanya suatu pribadi adikodrati yang bertahta di atas sana dan mengatur umat manusia dari awal sampai akhir, serta mengangkat nabi2 tertentu dan memberi sabda berbentuk kitab2 tertentu dan memuncak pada pewahyuan kitab tertentu dan figur nabi atau juru selamat tertentu – tentu saja mengandung kontradiksi baik secara idea maupun secara realitas.
Karena pemahaman umat manusia yang terus maju dengan cakrawala pengetahuan yang lebih luas tidak memungkinkan adanya suatu titik kulminasi pewahyuan di belakangnya. Mestikah kita terus menoleh kebelakang untuk mencari semua jawaban dari pertanyaan kita sementara kompleksitas hidup dan pengetahuan umat manusia jaman itu tidak lebih rumit jaman sekarang?
Pada jaman2 lalu inti dari agama adalah agar kehidupan manusia dapat tertata, terikat dengan hukum-hukum positif dalam komunitas tersebut dan mengambil makna hidup. Dan itu wajar jika disikapi dengan dewasa. Artinya kita sadar bahwa tidak ada yang mutlak dalam kepercayaan2 tsb. Kenapa? Karena seiring dengan pengetahuan manusia akan alam, dirinya, sesamanya dan keterhubungan di antara faktor2 tersebut, maka kebathinan manusia pun akan bertambah pula.
Dari perspektif agama, ketika pemahaman manusia berubah dan semakin maju, agama pun harus mau membuka diri dan jujur dengan segala kelemahan dan keterbatasan dan kenaivannya. Sebab kalau tidak, maka ia sendiri harus bersiap-siap ditinggalkan oleh manusia2 yang cerdas.
Keyakinan yang masih membangga-banggakan akan adanya tuhan di langit yang memberikan tiga agama langit, yang masih mempercayai bahwa wahyu dari allah di langit itu memuncak pada pribadi nabi tertentu, kitab tertentu dan agama tertentu, atau juru selamat tertentu, masih layakkah kita pertahankan?
Kita lebih memerlukan kemanusiaan, kejujuran dan intelektualitas daripada kepercayaaan2 buta yang dalam rekam jejak sejarah, sudah jelas-jelas menorehkan diskriminasi, penindasan, kekerasan dan darah.
Sejarah pemahaman konsep tuhan adalah sejarah pemahaman manusia itu sendiri tentang alam, dirinya dan sesama. Dengan begitu maka ini mengundang dekonstruksi, rekonstruksi, dan reinterpretasi.
Tuhan adalah tuhan yang ber-evolusi, seiring evolusi (otak) manusia.
Apa yang ada di balik simbol-simbol.
Jikalau idea-idea dalam kisah-kisah agama adalah symbol, seperti halnya surga, neraka, keabadian, dsb maka sebenarnya symbol-simbol ini mengacu pada apa?
Dalam note saya yang pertama saya tuliskan seperti ini:
Kami para pencari kebenaran yang mempelajari banyak ilmu secara interdisipliner, menyadari bahwa agama hanya sekumpulan dogma dan simbol-simbol tertentu yang mengacu kepada ‘suatu makna’ di balik itu. “sesuatu” ini yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang gamblang. Namun para agamawan begitu mudahnya mem-bypass dan menjadikan ritual, dogma sebagai kebenaran final, kebenaran dalam dirinya, sehingga berkubang di situ dan tidak mampu menempus makna di balik itu.
Jadi apa makna di balik symbol-simbol agama itu? Saya telah jawab bahwa makna di balik simbol2 itu sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata gamblang. Itulah mengapa Buddha lebih baik berdiam diri manakala ia ditanyai tentang adanya tuhan yang berpribadi, prima causa, asal muasal semesta dsb. Jikalau jaman sekarangpun dengan cakrawala pengetahuan alam yang lebih luas manusia sukar menjawabnya, apalagi manusia 2500 tahun yang lalu?
Namun dalam note yang akan datang akan saya sedikit paparkan pemahaman saya tentang hal ini.
Conquest of the Universe – mungkinkah masih ada waktu bagi kita?
Pada penghujung abad ke-15 masyarakat Eropa dikejutkan dengan ditemukannya dunia baru oleh Christopher Columbus. Seperti kita tahu bahwa kejatuhan kekaisaran Roma Byzantine yang kristen kepada dinasti Utsmaniah yang islam dan pemblokiran jalur2 perdagangan eropa ke Asia memaksa para pelaut eropa untuk mencari rute-rute perdagangan baru.
Penemuan dunia baru ini membuktikan bahwa bumi tidak seluas yang mereka kira. Bagi orang Eropa saat itu batas paling selatan adalah Tanjung Harapan di Afrika selatan dan batas paling timur adalah kerajaan Cina. Segera setelah penemuan dunia baru tersebut, maka terjadilah gelombang migrasi bangsa eropa ke benua Amerika. Pula semakin bergejolak peperangan antara protestan dan katolik di benua Eropa semakin banyak imigran merangsek masuk ke benua Amerika. Dan semakin berdarah-darahlah sejarah peradaban penghuni asli benua itu. Entah berapa banyak jiwa dan suku bangsa India yang punah karena keberingasan tentara spanyol, Inggris dan Portugis.
Dalam film 1492, the conquest of Paradise, Vangelis sang composer menggubah lagu yang begitu dinamis dan penuh misteri berjudul Conquest of Paradise. Nada-nada yang sederhana, hentakan tambur, tempo yang dinamis dan penuh emosi menggambarkan harapan, ketakutan, tantangan, ancaman kegagalan dan kematian para pengarung lautan.
Begitu pula dengan sejarah evolusi dan kesadaran manusia. Penuh ketegangan dan ancaman. Seringkali manusia melangkah yang salah dan menganggapnya benar. Dan harga yang harus dibayar dari kebodohan itu seringkali teramat sangat mahal, yaitu nyawa. Sejarah agamapun memperlihatkan hal yang serupa.
Ke depan anak cucu kita akan mengarungi wilayah2 baru dalam semesta tak terbatas ini. Pertanyaannya adalah mampukah anak-anak manusia bertahan sampai ke jaman itu sementara apa yang kita lihat sekarang dunia selalu berada di ujung tanduk? Dan salah satu factor pemicunya adalah masalah agama.
Negara-negara Timur Tengah yang selalu dalam keadaan tegang adalah negara2 yang paling berpotensi untuk membawa ancaman kepunahan kepada dunia. Sudah jadi rahasia umum bahwa konsentrasi senjata terbesar dunia ada di Timur Tengah. Dengan kemampuan teknologi nuklir Iran yang ada pada saat ini, adalah mudah bagi mereka untuk mengubah reactor nuklir untuk listrik ini menjadi teknologi senjata penghancur massal. Demikian pula sudah bukan rahasia umum bahwa Israel, Pakistan dan India dicurigai memiliki senjata nuklir. Fakta ini memicu negara2 Arab untuk berlomba2 menumpuk senjata sebagai pengimbang. Mengapa Arab Saudi, Mesir, Syria, Yordania dan Turki begitu dekat dengan Amerika Serikat? Salah satunya karena mereka takut dengan Iran. Persaudaraan islam yang digembar-gemborkan pada dunia adalah persaudaraan semu. Karena pada hakekatnya mereka memiliki kepentingan sendiri2 yang berbeda-beda. Tidak ada lawan, kawan, dan persaudaraan keagamaan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi.
Saya tidak tahu apa yang akan terjadi apabila krisis kemanusiaan dan politik Arab – Israel terus memanas dan menyulut peperangan besar. Dan kita di Indonesia, tentu saja akan terbawa-bawa secara emosional, karena secara budaya dan ideologi agama Indonesia sudah jelas keberpihakannya. Tak bisa dibayangkan chaos yang akan terjadi di negeri ini apabila saat kehancuran itu tiba.
Saya ingin kita melihat bahwa ada hal yang salah dengan agama2. Ada yang irrasional dengan agama2. Semua ini saya tulis agar anak bangsa bisa melihat akar permasalahannya yaitu keyakinan yang bertumpu pada mitos. Dan sungguh tidak layak bagi umat manusia untuk berperang dan saling membenci hanya demi mitos.
Padahal ke depan umat manusia masih punya banyak tantangan untuk ditanggapi. Ada bentangan alam semesta yang maha luas untuk dijelajahi. Ada lembaran pengetahuan baru dalam alam semesta ini yang menunggu disibak.
Wahai kaum islam, kristen dan yahudi, untuk apa terilusi dengan tanah Yerusalem yang tandus, dan situs-situs keagamaan berselubung mitos yang kita sudah tahu bahwa tidak ada kebenaran mutlak di sana? Untuk apa kita mempertaruhkan masa depan manusia demi mitos?
Dalam benak pemeluk 3 agama ini, mereka percaya nubuatan/ramalan akhir zaman, yaitu peperangan besar-besaran yang memperebutkan Yerusalem. Padahal setelah kita tahu bahwa tidak ada sesuatu entitas di atas sana yang memberikan pengetahuan masa depan. Karena semua pengetahuan itu didapatkan oleh manusia sendiri, maka nubuatan itu adalah self fullfiled prophecy atau nubuatan yang dibuat sendiri, dipercayai dengan buta oleh sendiri dan dijadikan nyata oleh sendiri. Ironisnya hampir 56% atau hampir 4 milyar manusia di dunia ini harus terseret-seret secara iman dan kultur dalam mitos2 ini. Buat saya itulah malari – malapetaka yang dicari-cari sendiri.
Tidak ada pusat alam semesta, jadi tidak ada titik episentrum rohani dalam dunia ini, entah di Yerusalem, Mekkah, Benares, Gangga, Vatikan, atau Himalaya.
Tidak ada puncak pewahyuan dalam bentuk kitab atau sesosok nabi terakhir atau sesosok juru selamat manusia. Semua itu hanya interpretasi sekelompok orang yang dijadikan iman mereka sendiri dan dipaksakan untuk diyakini umat manusia di segala tempat dan disegala jaman.
Bagi kita yang memahami ini, apa masih mau kita dijajah oleh mitos-mitos tersebut?
Pada saat anak2 bangsa di negeri ini terikat dengan mitos-mitos dalam kitab ‘suci’, ingin mendirikan kilafah, ingin menggoalkan undang-undang syariah, berlomba-lomba mendirikan islamic center, serambi medinah atau megachurch , justru para saintis di negeri-negeri barat mencari cara memelihara keberlangsungan kehidupan bumi dan ras manusia. Oh betapa konyol dan inferiornya kenaifan agama, tapi pongahnya duh gak ketulungan.
Lihatlah alam semesta yang luas untuk dijelajahi. Mengapa memperebutkan kebodohan hanya demi mitos yang terbukti hanya bikinan manusia masa lalu saja?
Kapan kita akan bertanggung jawab untuk hari esok, apabila dalam benak kita masih digelayuti hantu2 irrasionalitas dan emosionalitas dalam berkeyakinan?
Ingat bahwa spiritualitas sebenar-benarnya tidak memaksudkan manusia melihat apa yang ada di seberang sana – di alam sesudah kematian, namun mencari makna terdalam dari kehadiran kita kini dan di sini, dalam ruang dan waktu ini, dalam kehidupan yang hanya sekali saja.
Spiritualitas sejati bukan tentang romantisme psikologis tentang kebenaran agama2 tertentu, bukan pula suatu bentuk pelarian kekanak-kanakan dari penderitaan hidup. Bukan pula tentang kesaksian pengalaman out of body experience, yang bisa saja hanyalah katarsis dari si pikiran.
Spiritualitas sejati adalah perjalanan rohani dan intelektualitas dalam memaknai hidup ini, kini dan di sini, yang menyadarkan akan keterhubungan kita dengan sesama, dengan alam, dengan kehidupan, dengan misteri dari kesegalaan ini.
June 8th, 2011 at 18:54
Wa’alaikum salam.
Berhubung ada kata ‘tersinggung’-nya pada email Mas Ayick itu, maka saya segera sigap seperti tentara, hehe. Langsung pasang ‘tenaga dalam’ full, sejak awal putaran pertama menyimak artikel ini. Dibaca alon2 sepenuh perasaan, sambil (dzikir) ngudut.
Tuntas membaca, saya meringis. Bagian manakah yang ‘bisa membuat’ saya tersinggung, ya? Gak ono’e, Mas. Sek, sek.., ta’ulang dua kali lagi membacanya. Berarti total jenderalnya tiga kali. Namun, tetep gak ono, Mas. Piye? Hehe.
Sing ono, siapapun yang menulis artikel ini adalah seseorang yang paham apa yang dipaparkannya. Insya Allah. Salam saya kepada beliau. Kalau saya taruh 100% sepakat, kuatir dibilang naif. Jadi 97,5% sajalah. Yang 2,5%-nya ‘zakat’.
So, monggo.. bagian mana kiranya yang hendak ditanyakan oleh Mas Ayick. Mari kita telaah bersama kawan2 yang lain.
Okay, Bradaa?
[Reply]
June 8th, 2011 at 19:05
Hehe, Ta’kirain ada kesinggungnya. ternyata tidak toh.? ya sudah kalo gitu.
Sing mau ta’tanyakan. Berarti,Tuhan yang selama ini kita yakini ini adalah. bukan sesuatu di luar sana, di atas sana yang bertitah ini dan itu.? Berarti benar dong?Tuhan dalam pemahaman di otak kita.? Dan seberapa jauh dan lembut pemahaman tuhan itu, tergantung dengan seberapa manusiawinya kita, seberapa dalamnya keteduhan batin kita, seberapa luas pemahaman kita tentang alam dan sesama mahluk.
Jadi tuhan itu tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana, yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan malaikat.
Itu yg tadi mau saya tanyakan tapi lupa ngga ke-ketik.
[Reply]
ABang Reply:
June 8th, 2011 at 20:02
Banyak hal menarik dalam artikel ini, bagi saya. Salah satunya adalah tentang Budha, yang memilih diam saat ditanya perihal2 ketuhanan. Yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya. Yang mengenal Tuhannya, kelulah lidahnya. Itu dalilnya, Mas. Dan, benarlah ini.
Apa yang masih bisa dikata2an, dituliskan, atau digambarkan, hanyalah isyarat wal iktibar. Isyarat wal iktibar bermakna ‘bukan yang sesungguhnya’. Namanya juga isyarat, sekedar ‘simbol’. Mengapa tidak bisa? Karena ‘yang sesungguhnya’ telah menembus batas kata2. Bahkan, melampaui segalanya.
Jadi, seberapapun adanya pada masing2 kita, pasangkan atau terapkan pemahaman tadi saat kita menelaah perihal2 ketuhanan. Sebab, bahkan ‘Allah’, ‘Aku’, ‘Engkau’, ‘Dia’, -‘Nya’ itu simbol juga, bukan? Semesta raya ini ‘sekaffah’ simbol-Nya.
Sekarang, kita ke pertanyaannya.
Jelas, Tuhan ‘bukanlah sesuatu’. Kalau sesuatu, maka Dia terkena hukum ruang dan waktu. Karena ‘bukan sesuatu’ (BUKAN KEADAAN, istilahnya Syekh Atha’illah dalam al-Hikam), maka DI SINI DAN DI MANA2 keberadaan-Nya. Perhatikan, ungkapan DI SINI DAN DI MANA2 itu pun memuat ruang dan waktu, bukan? Namun, terimalah dibatas isyarat. Kalau tidak bisa menerima, ya nggak ada juga ‘obrolan’ ini.
DI SINI DAN DI MANA2 bukan bermakna ‘di luar sana’ atau ‘di atas sana’ semata, melainkan di luar sana – di dalam sini, di atas sana – di bawah sini, di depan sana – di belakang sini, di kanan sana – di kiri sini. DI MANA2. ‘Di sini’ mengisyaratkan ‘kedekatan’. Sementara, ‘di sana’ menyimbolkan ‘kejauhan’. Dekat tiada kira, jauh tiada hingga. Balik lagi, DI SINI DAN DI MANA2.
Maksud kalimat ‘Tuhan dalam pemahaman di otak kita’ adalah sebagaimana dalil, “AKU sesuai prasangka hamba-Ku.” Nah, ‘prasangka’ masing2 kita mengenai-Nya tentu berbeda2. Namun, perbedaan ini tidak langsung berarti ‘salah’. Perbedaan itu adalah ‘kebenaran yang bertingkat2’, sesuai dengan ‘kadar hati’ si manusianya yang ‘punya prasangka’.
Kadar hati..? Ya. Kenapa? Karena memang itulah rujukannya. Dia ‘memandang’ hati, bukan lainnya. Manusia bermartabat sama, derajatnya yang berbeda2. Yang mana, derajat manusia di mata Tuhan tergantung ‘kadar hati’ masing2.
~ tergantung seberapa manusiawinya kita. Betul, ya itu tadi.. ‘kadar hati’. Rujukan kemanusiawian manusia adalah hatinya, bukan jidatnya. Dalemannya, bukan ondel2nya.
~ Jadi Tuhan itu tidak ada secara materi. Benar, jika yang dimaksud ‘materi’ di sini adalah ‘sosok’, seperti halnya manusia, jin, atau malaikat. Tapi kalau yang dimaksud dengan ‘tidak ada secara materi’ itu adalah TIDAK ADA TUHAN, maka jelas melenceng. Tidak usah dibahas lagi, bukan?
[Reply]
Ayick Reply:
June 8th, 2011 at 21:04
Hahaha.. Terima kasih… Terima kasih… Pak Andi. Alhamdulillah, Puji Syukur saya PadaNya Sang Maha Pemberi Kepengetahuan. SUNGGUH, MERESAP betul. paham PAKE BANGET, lebih2 pada bagian ini,
“Maksud kalimat‘Tuhan dalam pemahaman di otak kita’ adalah sebagaimana dalil, “AKU sesuai prasangka hamba-Ku.” Nah, ‘prasangka’ masing2 kita mengenai-Nya tentu berbeda2. Namun, perbedaan ini tidak langsung berarti ‘salah’. Perbedaan itu adalah ‘kebenaran yang bertingkat2’, sesuai dengan ‘kadar hati’ simanusianya yang ‘punya prasangka’….”
Wah, wah.. Tolol banget saya selama ini, padahal, udah banyak di bahas di NOVEL2nya ABang, tapi rasanya baru KENA sekarang. Sungguh! Nyantol tenanan sing iki. . Sekali lagi, Terima Kasih.
[Reply]
June 8th, 2011 at 20:18
((gak tau mau ngomen apa))
==================
[Reply]
ABang Reply:
June 9th, 2011 at 16:26
Hehehe..
Nggak apa2 ((nggak tau mau ngomen apa)) juga. Yang penting sudah punya balon manis yang bukan mitos. Itu lho, bakal calon.. Betul nggak, Mas? Kapan?
[Reply]
fakhrul Reply:
June 9th, 2011 at 19:24
Betul bang.
InsyaAllah tanggal 11 bulan 11 tahun 2011.
Mohon DO’a, semakin banyak do’a (Dzikir) yang selaras, semakin mantap dan semakin cepat.
[Reply]
benkunawi Reply:
June 10th, 2011 at 05:36
ditunggu undangan makan2 nya lho mas fachrul, nanti tak kasih hadiah ndunga deh…. he he he
[Reply]
Ghirobi Mahmud Al-Fikri Reply:
June 10th, 2011 at 11:59
asik, mas. saya numpang ngerayain ultah, yah… hehehe
ultah sy 11 bulan 11 tiap taunny
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 19:34
Haa?? Ck..ck..ck.. geleng2.com, sembari mendesah, “Satu lagi wanita baik2 ‘akan tertipu’..” Hehehe, piss Bradaa. Becanda, gak pake marah. Awas lho, ya? Kalau marah, aku bocorin curriculum vitae-nya ke bidadari itu. Ta’rekomendasi dia untuk segera pindah ke semenanjung Salman, hehe.
[Reply]
June 9th, 2011 at 08:00
idem sama mas fachrul
[Reply]
ABang Reply:
June 9th, 2011 at 16:30
Haa?? Mau dicemplungin ke kawah sanggabuana? Hehe..
[Reply]
benkunawi Reply:
June 10th, 2011 at 05:34
siap kumendan!!!
kapan mau dicemplungin!!!!
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 16:33
Nanti, kalo kawah sanggabuananya udah ilang.
Hehehe.
[Reply]
benkunawi Reply:
June 12th, 2011 at 06:01
ooo, begitu yah…..
okelah… saya akan melenyapkan kawah sanggabuananya dulu, mohon ijin kumendan……
[Reply]
June 9th, 2011 at 09:52
wa alaykum salam….
Tuhan = bicara wujud = adalah berada di luar materi mkhluknya..
eh,ini kibod sussah banget yach
@mas ayick
sementara saya sudahi dulu karena “materi” sekitar saya tidak mendukung.
slam menunggu
[Reply]
June 9th, 2011 at 09:53
sama mas fakhrul (tos dulu), ga mudeng, maklum, hehe..
[Reply]
ABang Reply:
June 9th, 2011 at 16:33
Waah.. Nek Mas Arfan iki mek ethok2 gak mudeng. Gak mitos aku, hehe..
[Reply]
June 9th, 2011 at 11:35
ABang..maaf sebelumnya..Sampai saat ini saya rasa saya tidak setuju dengan tulisan diatas. Yang saya tangkap dari tulisan diatas bahwa agama adalah mitos belaka, termasuk tentang Kisah Adam Hawa, Kisah para Nabi, Kenaikan Nabi Isa, bahkan Isra` Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Meskipun belum ‘Haqqul Yaqin’, tapi saya meyakini kebenaran kisah-kisah tersebut.
yang saya tanyakan..apakah ABang juga sependapat bahwa agama termasuk kisah-kisah didalamnya hanya mitos..?
Trims..
[Reply]
ABang Reply:
June 9th, 2011 at 16:05
Menurut saya, penggunaan kata mitos dalam artikel itu memang ‘cukup keras’. Barangkali karena sang penulis sedang ‘nggak nemu’ padanan kata yang menurutnya pas untuk menggambarkan apa yang hendak dia sampaikan, kecuali mitos. Padahal, sekiranya beliau menggunakan kata ‘sekedar kepercayaan’ mungkin dapat lebih mudah diterima. Maknanya, sama saja.
Mari kita telaah sedikit.
Wikipedia; mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.
Intinya, mitos adalah sesuatu yang dianggap benar. Kalau menurut saya, sesuatu itu bisa kisah di masa lampau maupun harapan di masa depan; yang dianggap benar.
“Agama berikut kisah2 di dalamnya hanyalah mitos.” Pernyataan ini bermakna agama berikut segala isinya adalah sesuatu yang dianggap benar. Ketika saya menganggap sesuatu adalah benar, berarti kebenaran atas sesuatu itu bagi saya belum bulat. Kenapa? Karena masih ‘butuh anggapan’. Bukan salah lho, sekedar belum utuh saja kebenarannya. Dibilang belum kaffah juga boleh. Bukankah kebenaran pun bertingkat2?
Sekarang mari kita bertanya kepada diri kita masing2. Bagi saya (kita masing2), agama berikut segala isinya itu sesuatu yang saya anggap benar, atau memang benar? Monggo, jawaban apa adanya boleh disave untuk telaah diri masing2 sekiranya hendak. Nggak usah dishare, ya.
Jika pada adanya ‘saya anggap benar’ adalah jawabannya, itulah mitos. Maka mitos dalam pengertian ini adalah keimanan, sebentuk kepercayaan. Selanjutnya, dengan bekal keimanan tersebut kita mencari wujud keyakinannya.
Ada beda tataran antara keimanan dengan keyakinan. Iman adalah teorinya yakin – yakin adalah kenyataannya iman. Istilah lain untuk yakin adalah makrifat (mengenal). Berarti, makrifat adalah kenyataan atas keimanan kita. Terserah pada apa keimanannya itu.
Jadi, apakah saya sependapat bahwa agama berikut segala isinya adalah mitos? Saya jawab jujur, dulu2 iya. Itulah adanya. Namun belakangan ini alhamdulillah sudah nggak begitu kenceng lagi maen mimitosannya. Bosen, hehe. Soalnya saya sudah berputri dua. Tiga cewek, sama mamanya.
Begitulah, Mas Khairul. Semoga bisa memperjelas.
Salam.
[Reply]
Dedot Reply:
June 11th, 2011 at 05:35
Sekedar menambahkan bang..
Kisah nabi didalam al-qur’an, hakikinya adalah kisah interaksi satu kesatuan antara Allah Swt, Muhammad dan Adam (didalam ka’bah adalah ruang kosong yang disangga oleh 3 tiang….), satu bundel….ditarik lagi ke “dalam”, kisah tersebut ada di “sejati diri” kita masing-masing…oleh karena itu bacalah “qur’an” masing-masing…
Agar kita yakin terhadap sesuatu dapat dekati dengan teori mana yang lebih penting dari 2 kejadian ini:
1. Membaca scenario film…
2. Menonton film nya…
Mana yang lebih mendekati keyakinan kita….?
Salam
Dedot
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 19:57
Betul, betul..
Kalau saya mah lebih senang nonton filmnya dulu, Kang. Habis itu baru kasak-kusuk nyari skenarionya. Jadi, ada ‘rasanya’. Kalau langsung baca skenario, ntar pas nonton pilemnya jadi hambar lho. Anyep, gak ada rasanya karena sudah lewat, hehe. Namun dengan catatan, bahwa skenario bermartabat lebih sejati dibanding filmnya. Ia yang membulatkan keyakinan kita atas film itu. Dalam hal ini, skenario adalah hakikat, film adalah syariat.
[Reply]
Dedot Reply:
June 14th, 2011 at 02:33
@ABang
SAtubuuhh bang, ehh satujuuu..tapi dengan catatan yg abang sebutkan ya..hehe..
Pasti seru pilemnya tuh bang…ga kalah sama pilem megaloman sama satria baja hitam…karena ternyata pilemnya lebih “rame” euy..
SAlam
Dedot
[Reply]
June 9th, 2011 at 12:15
Maaf nih, Pak. Karena saking banyaknya ‘Hajar Aswad’ di pikiran saya. maka, Sebelum saya di lurug sama Ormas Islam yg suka main gebuk itu. jadi, saya mau tanya2 lagi sebelum kelenger
kalo merujuk pada ‘ayat’ ini (hehe..)
Jelas bahwa manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya. Manusia-lah yang menyapa tuhan, bukan sebaliknya. Sebab jika kita mengandaikan ada suatu tuhan yang berfirman ini dan itu, seharusnya firmannya itu bisa diverifikasi. Mari kita datangi tuhan, apakah benar ia pernah berbicara kepada nabi ini dan itu dan memfirmankan demikian dan demikian.
Berarti para Nabi ini dan itu jelas2 berbohong. sebab, Dia adalah Dzat yang tidak Serupa dengan apapun. Bagaimana bisa para nabi2 mengaku mendapatkan wahyu ini-itu.?
Katakanlah sang Nabi Ini dan itu menerima Firman Tuhan melalui ‘bisikan’ hatinya. Kemudian melalui beberapa tahap, maka turunlah AlQuran.. Apa betul itu adalah Tuhan yang berfirman kepadanya? Apa iya, yang berbicara itu adalah Tuhan juga? Jangan2 itu adalah perbuatan setan/Iblis atau sesuatu lain yang mengaku2, menyamar sebagai Tuhan yang kemudian membisiki sang Nabi dengan dalih ini adalah firman Tuhan Yang Maha esa? Jika, firman itu berasal dari ‘Bisikan’, mestinya. Quran itu ndak jatuh gedebuk dari Langit melainkan dari diri kita sendiri. Jadi. Quran itu adalah diri kita ini sendiri.
Jadi, mari kita datangi rame2 untuk pemeriksaan kebenaran laporan tentang firman2 itu kepada Tuhan. Hehehe..
Saya Siap menerima Hardikan cacian dan sebagainya. Di tunggu.
[Reply]
fakhrul Reply:
June 9th, 2011 at 19:30
makin pedas, dan saya pun lebih memilih untuk diam.
wkwkwkw ((gaktaumaungomenapa.com))
[Reply]
Ghirobi Mahmud Al-Fikri Reply:
June 10th, 2011 at 12:13
saya mah memilih mojok, ah. pusing ngurusin yang beginian. ndak pernah selesai ddiskusikan (atau diperdebatkan?). xixixi
selamat berdiskusi kawan’s
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 19:40
Wuih, sareng Saha mojokna, Kang? Kenalin dunk..
[Reply]
Ghirobi Mahmud Al-Fikri Reply:
June 12th, 2011 at 08:58
sama Doi aja, Bang. Doi Yang Maha Besar
[Reply]
ABang Reply:
June 9th, 2011 at 22:40
Dalilnya sudah ada, “Yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.” Dibatas kata, mengenal Tuhan itu nggak susah2 amat. Yang rada2 rumit justru mengenal diri. Makrifat kepada dirinya sendiri. Ini yang namanya ‘diri’, kesana kemari kita pakai tapi (kebanyakannya bagi kita) tidak dikenali. Jadilah pusing, lompat sana lompat sini mencari Tuhan. Seakan Tuhan adalah sesuatu yang hilang.
Dalil itu, ditafakuri sejenak saja akan membuka percik2 pemahaman bahwa memang manusialah yang menemukan konsep Tuhan, bagi dirinya. Bukan sebaliknya. Kalau diterapkan ke hukum sebab-akibat; mengenal diri adalah sebabnya, mengenal Tuhan adalah akibatnya.
Jadi, benarlah bahwa manusia yang menyapa Tuhan, bukan? Kapan bisa? Saat ia telah mengenal-Nya? Kapan itu? Ketika ia telah mengenal dirinya. Jika ini dapat dipahami, maka maksud atau makna kutipan kalimat tersebut insya Allah dapat ditangkap.
Bagi mereka yang telah mengenal-Nya dengan sebenar2nya kenal, tidak berlaku lagi kebohongan atasnya. Mengapa? Karena Tuhan adalah Sang Maha Benar. Kebohongan atau kebathilan itu bisa berlaku hanya bagi mereka yang belum mengenal-Nya. “Jangan kau berkata iman, jangan kau berkata ikhlas, jangan kau berkata sabar, jika tanpa makrifat. Bathil!” ujar Sulthan Auliya.
Sudah pernah kita telaah, bagi mereka yang telah tiba pada tataran mampu mengatakan bahwa dirinya adalah Qur’an, maka itu benar.. asalkan dengan ‘kebenarannya’. Jika benar sudah bisa, maka itulah. Namun kalau sebenarnya belum, inilah ‘kebohongan’ (bathil), walau yang dia katakan adalah benar. ‘Bohong dalam benar’.
Bagi mereka yang telah mendapatkan kebenaran rasa laisa kamislihi syai’un, maka semestinya paham bahwa tidak ada yang mampu menyamar sebagai Dia. Yang terjadi barangkali begini, setan (iblis) menampilkan diri menjadi sesuatu lantas berkata kepada seseorang bahwa dirinya tuhan. Kalau misalnya orang itu belum mengenal Tuhan, maka bisalah ia terperdaya. Namun bagi yang yang mengenal-Nya, mana bisa dibohongi begitu?
Benar nggak, ya?
[Reply]
Ayick Reply:
June 10th, 2011 at 08:29
@ Mas Hartono Subang, di situ kan udah di wakilin dgn kata “katakanlah”. Saya ngga tahu padanan kata mana yg mau ditempatin disitu yg bisa ditangkep Mas Hartono. Jadi, sepertinya ngga perlu dijelaskan lagi ya?. Soale manusia yg sekrang ‘kan beda dgn manusia 2500 tahun yg lalu. Hehe..
@ Mas Fakhrul : iya mas. kalo di pedasin biasanya muncul sesuatu dan bisa ketangkep. So, kalo udah pedas beneran. Tinggal di jadiin rujak. Hehe
=====================
( Sambil dengerin Darah Muda-nya Bang Haji Rhoma Irama)
@ ABang : Mm, gimana, ya? Jika saya bilang bahwa yg dipaparkan Pak Andi itu adalah kebenaran. Sudah jelas berarti bohong bagi saya, sebab saya belum tahu sendiri (merasakannya).
Kalo saya bilang itu adalah kebohongan, saya juga ngga tahu. Karena siapa tahu hati org? ‘kan udah dijelasin di atas kalo Tuhan Melihat ‘Kadar Hati’. dan bukan yang lain..
Jadinya ya, sementara ini mau atau tidak. Saya hanya bersyukur utk jawaban atas pertanyaan saya yg kata mas Fakhrul pedas itu. Hehe..
Jujur saya ngga ingin berdebat karena udah jelas2 bahwa saya kmabing yang masuk dalam kandang macan,
Karena selain pengertian saya yang muter2, bodoh dan ngga punya ilmu apa2, saya jelas2 nol puthul tentang beginian. Maka itu saya tanya2 ke yang lebih tahu, daripada saya beneran buruk dipandangan Tuhan. Kan lebih baik buruk dipandangan Org. Meski yang sebaiknya adalah Baik dipandangan org maka harus baik pula dipandangan Tuhan. itulah, maksud saya bertanya disini. Jadi kalo ada kalimat yg ngga begitu nyaman (pastinya, hehe..), saya ngga bisa apa2 selain minta maaf. Oke, salaman dulu yuk?
Beruntunglah saya sampai dengan ini, sampai dengan ikutan komentar ini. ngga ada yang mencaci, menghardik dan sebagainya kepada saya.
Bagaimana bisa? Masak sih orang yang sudah Ingat KepadaNya tiada jeda sedetikpun, yang memuslimkan nafsunya, yang bener syahadatnya, yang tegak sholatnya utk menjauhi Keji dan Munkar tapi masih saja ada hasrat utk menyakiti org lain? Ngga mungkin deh kalo kayak gitu. Iya ‘kan? Kecuali kalo hanya sekedar mengaku2. Piss.
Nah, kini saatnya bagi saya menafakkuri “sesuatu” yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang gamblang ini.
Sekian
Assalamu’alaikum..
[Reply]
benkunawi Reply:
June 11th, 2011 at 02:26
@Ayicks
ooo begitu yah…. oqelah qalau beghithu……
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 17:23
Wa’alaikum salam.
Emm, masalah keterbatasan bahasa manusiawi lagi ini, Mas. Yang dimaksud ‘kebohongan’ pada tataran ini tidak sama dengan kebohongan pada lazimnya. Saya sudah makan, lantas bilang belum makan supaya dikasih makan lagi. Atau, Mas Ayick (ceritanya) sudah menikah, lantas bilang masih bujangan kepada seorang gadis manis supaya dia mau diajak nonton pilem (trus lanjut dipacarin, hehe). Nah, dua contoh ini adalah ‘kebohongan lazim’. Syariat hukumnya telah tersedia.
Sementara, keimanan bukanlah kebohongan. Jika seseorang berkata mencintai Rasulullah walau belum pernah berjumpa dengannya (karena secara jasadiyah beliau telah wafat), maka orang itu tidak terkena hukum ‘kebohongan lazim’ tadi. Pun, demikian halnya dengan perkara mengenal Allah. Inilah keimanan, bahwa ‘saya mempercayainya’.
Saya percaya Allah itu ada, Maha Tunggal, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Saya percaya Rasulullah pernah ada (hidup di alam fana ini) pada masanya. Saya percaya bahwa beliaulah suri tauladan atas ‘kesempurnaan manusia’. Inilah sebagian keimanan Islam, merujuk Rukun Iman. Jelas, bahwa yang seperti ini tidak terkena hukum ‘kebohongan lazim’ itu.
Maka, Mas Ayick jangan lantas jadi ‘tertekan’, ya. Yang penting, kita tetap punya ‘kesadaran diri’ atas tataran kita. Yang ‘berbahaya’ itu jika kemudian kita lepas kendali, lupa diri. Membaca entah ayat atau kitab apa tadi malam, trus besoknya lantang berkoar2 bilang Buya Hamka seorang kafir; Junaid nggak tahu wudhu; Ibnu Taimiyah nggak paham cinta; dan sejenisnya. Wah, ‘jarwad’ ini, hehe.
Jadi, apa rujukan bagi kita untuk mengerti status ‘kebohongan’ ini? Ada yang tahu..? Ya, benar. Niat. Perhatikan saja niat kita, memang beneran kita hendak berbohong atau sedang menyusur (mencari) kebenaran yang lebih tinggi? Itulah. Makanya kita nggak boleh main2 dengan yang namanya Nisa. Eh, niat.. (Tolong dibisikin kembarannya yang di Jogya, ya. Bilangin, jangan (sampai) terselip niat hendak menggores hati seorang gadis cantik, hehe. Piss, Bradaa).
Salam, Adikku.
[Reply]
Ayick Reply:
June 11th, 2011 at 21:15
Maap kalo keluar konteks, kayaknya Quotes di bawah ini, ada mirip2nya dengan Syahadat.
“Saya percaya Allah itu ada, Maha Tunggal, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Saya percaya Rasulullah pernah ada (hidup di alam fana ini) pada masanya. Saya percaya bahwa beliaulah suri tauladan atas ‘kesempurnaan manusia’. Inilah sebagian keimanan Islam, merujuk Rukun Iman. Jelas, bahwa yang seperti ini tidak terkena hukum ‘kebohongan lazim’ itu. “
Maaf lagi ini Bang, kalo di rujuk dari (Ya’elah..) arti Syahadat yg artinya “saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Adalah utusanNya”.. Nah, arti Bersaksi, kalo didalam kamus bahasa indonesia, itu-kan ‘orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian)’. berarti, kita kan kudu menyaksikan sendiri Bahwa Kita telah menyaksikan Allah.? Kalo tanpa itu maka gugurlah keaksiannya.
Ada juga yg mengatakan arti dari ASHADU adalah “gabungan dari bersaksi dan mengimani” dan dalam bahasa indonesia tidak ada kata yg sepadan dengan itu. (katanya)
Kalo di jabarin lagi
bukankah : Bersaksi = melihat dan percaya.
Mengimani = tidak melihat tapi percaya
Jadi menurut saya tidak ada gabungan bersaksi dan mengimani. Seharusnya milih salah satunya. baiknya itu Mengimani Atau Bersaksi? Hehe…
Jelasin dong Bang, sekalian kasih passwordnya, Step by step, slow but sure, tralala trilili, blarrr blurrrr.
maaf kalo masih muter2,
semoga bisa dijawab lebih baik lagi. maaf2 bila apa yang saya tulis banyak kesalahannya, soalnya saya punya sedikit pengalaman buruk sama pelajaran bahasa indonesia. Ini saya hanya ingin ngungkapin apa yang menjadi pemikiran saya yang banyak ‘Jarwad’-nya.
[Reply]
benkunawi Reply:
June 12th, 2011 at 05:45
ini sekedar intermezo aja yo pakdhe ayicks, aku juga masih belajar.
kalo soal syahadat pe(r)(ny) saksi – an, menurut saya menyaksikan tidak berarti harus melihat dengan mata kepala, seorang saksi dalam persidangan tidak diharuskan tahu persis dengan mata kepalanya sendiri tentang kejadian yang disidangkan, bersaksi (arti dalam syahadat) bisa diartikan mengetahui dengan jelas dan gamblang, nah kalo sudah mengetahui (dalam bahasa arab mengetahui itu “ma’rifat”) biasanya kalo saya pasti percaya, seperti kita tahu akan semilir angin di tepian pantai, atau nikmatnya makan baso urat di perempatan jalan, maka iman (percaya/meyakini) akan datang dengan sendirinya, kalo dalam bahasanya bang andi akan jadi ilmu. kalo kata orang kulonan mah “seeing is believing” (betul gak sih penulisannya), maksudnya; tahu maka percaya begetoooo…
keep smiling brada….
abu hanan Reply:
June 12th, 2011 at 08:50
assalamu alaykum
asyhadu berasal dari syin ha dal.Syahada berarti bersumpah.Satu makna dengan ikrar dengan “tingkat hati” lebih tinggi.
Ketika anda bersumpah maka anda wajib mengimani
Ketika anda berikrar maka anda wajib menepati
ketika anda bersaksi maka anda wajib tidak berdusta.
Semoga syahada/asyhadu telah meliputi 3 pengertian “ketika”
Semoga bermanfaat.
ABang Reply:
June 12th, 2011 at 08:50
Ya, ‘menyaksikan’ yang dimaksud di sini adalah ‘mengenal’ (makrifat).
Misalkan sekarang saya bersaksi bahwa saya mengenal Mas Ayick, maka ini bernilai benar. Dasar kesaksian saya antara lain adalah bahwa saya ‘kenal’ namanya, saya ‘kenal’ kelanangannya, saya ‘kenal’ gambar koboinya yang berkacamata, saya ‘kenal’ nongkrongnya di Gresik, dan saya ‘kenal’ status kejombloannya (hehe). Kata ‘kenal’ itu diganti ‘tahu’ juga bisa.
Dengan begitu adanya, saya termasuk mengenal Mas Ayick, nggak? Kalau kata saya sih, iya. Masak nggak, sih? Lha, itu sederet ‘kenal’ tadi apa artinya kalau dibilang tidak?
Lantas cerita-Nya, pas saya sedang dinas ke Gresik, trus ketemu sama Mas Ayick. Dengan itu maka, saya menerima makrifat ‘yang lebih tinggi’ terkait adik mbeling ini dibanding sebelumnya. Selain kenal namanya, sekarang saya kenal model wonge yang ternyata lebih manstabb daripada gambar kacamata. Saya kenal lebih detail tempat nongkrongnya di Gresik (yang tiba’e adhoh seko gang dolly, hehe). Sekalian, saya mesti merevisi status kejombloannya karena ternyata sang musang kini sudah dapat ‘calon korban’. Busyet, itu gadis manis anaknya orang kok gak sadar2, ya? Hehe.
Itulah makanya dikatakan bahwa makrifat ini bertingkat2. Yang dengan begitu dapatlah kita pahami bahwa ilmu pun bertingkat2 juga. Karena, dasar sebuah ilmu sesuatu bagi seseorang adalah kemakrifatannya (ke-rasa-annya) terhadap sesuatu itu.
Nol (0), barangkali kini sekedar angka nol bagi Deyna. Urutan angka sebelum 1. Tapi, 0 inilah yang membuat seorang teman saya lulus cum ‘bintang lima’ laude dari Jurusan Matematika ketika itu. Padahal skripsinya tipis, cuma 25 lembar. Segitu itu sudah termasuk lembaran kata pengantar, daftar isi, literatur, dll.
Intinya cuma hitung2an matematika mboh model opo jenenge untuk membuktikan bahwa A x 0 = 0 dan B/0 = ~ (tak hingga). Untunglah dia berhasil membuktikan itu. Kalau nggak, bisa2 bubar ini syariat matematika. Kembali ke jaman batu.
Nah, 0 boleh sama. Namun, kemakrifatan Deyna atas ini jelas berbeda dengan teman saya itu. Demikian pula ilmu. Topiknya sama tentang shalat, namun ‘rasanya’ yang berbeda2 antara satu manusia dengan manusia lainnya. Maka itulah derajat manusia pun berbeda2 dalam pandangan Allah, tergantung ‘ilmunya’. Kalau martabatnya sih sama. Sebab, Dia Maha Adil.
Mengenai step2nya, sudah sering kita telaah: INGAT – KENAL – DEKAT – LEBUR. Mulai dari kenal dst., itulah makrifat. Ingat itu ‘bagiannya’ kita (wirid). Kenal itu ‘bagiane’ Allah (warid). Dekat itu ‘warid lanjutan’. Lebur itu entek tong, hehe. Kata Merbot Iwanuk, “Bagai setetes Air Laut yang telah kembali ke Lautan.” Weleh, weleh.. Begimana misahinnya lagi, yak?
Kalau passwordnya, dzikir. Sudah, itulah. Percaya, boleh.. nggak juga nggak apa2. Dzikrullah, ya. Jangan yang dzikir2an.
Ghirobi Mahmud Al-Fikri Reply:
June 12th, 2011 at 08:57
saya numpang nyengir aja, ah…
benkunawi Reply:
June 10th, 2011 at 05:44
“Katakanlah sang Nabi Ini dan itu menerima Firman Tuhan melalui ‘bisikan’ hatinya. Kemudian melalui beberapa tahap, maka turunlah AlQuran.. Apa betul itu adalah Tuhan yang berfirman kepadanya? Apa iya, yang berbicara itu adalah Tuhan juga? Jangan2 itu adalah perbuatan setan/Iblis atau sesuatu lain yang mengaku2, menyamar sebagai Tuhan yang kemudian membisiki sang Nabi dengan dalih ini adalah firman Tuhan Yang Maha esa?”
nyuwun sewu pakdhe ayicks…. kalo boleh nanya nanya nih, seumpama gak percaya ama Tuhan kenapa harus khawatir sama setan/iblis???? soale kalo sepenangkepan saya mustinya orang yang gak percaya ama Tuhan ya ndak percaya juga sama setan/iblis gitu, kan sama2 gaibnya, cuman kalo Tuhan itu Maha Ghaib
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 19:11
Hehe, iya juga ya..
Mirip2 ini dengan ungkapan Ama waktu itu, “Jika tidak hendak menyatu dengan-Nya, lantas maunya menyatu dengan apa?”
[Reply]
benkunawi Reply:
June 12th, 2011 at 05:58
iya tho bang…… baru ngeh saya…..
[Reply]
June 10th, 2011 at 04:32
Assalamu’alaikum wr.wb.
Alhamdulillah, senang sekali rasanya setelah mendapat kunjungan ABang di blogdetik. Setelah menjawab serentetan pertanyaan dari Pak Guru, masih dengan megap-megap, hehehe…. langsung saya mengadakan kunjungan balik.
Wow, alangkah senangnya ternyata di “Friends room” ada link blog saya yang numpang di blogdetik. Ohya, Bang, kalo neh… gimana kalo link tersebut diganti ini saja: http://amazzet.wordpress.com/ karena saya tidak bisa mengelola blog tersebut dengan baik. Mungkin ini karena belum bisanya saya mengutak-atik dasbornya kali ya…. tidak spt blog saya yang numpang di wordpress tersebut. Boleh ya, Bang? [dengan gaya merajuk...]
Hmmm…, ikut menyimak apa yang dibawa oleh Mas Ayieck di atas. Sungguh, saya sangat setuju dengan semua yang Abang tulis. Terutama:
Jadi, benarlah bahwa manusia yang menyapa Tuhan, bukan? Kapan bisa? Saat ia telah mengenal-Nya? Kapan itu? Ketika ia telah mengenal dirinya. Jika ini dapat dipahami, maka maksud atau makna kutipan kalimat tersebut insya Allah dapat ditangkap.
Demikianlah, Bang, duh… saya masih berdesir senang dengan kunjungan ABang, hehe…. [nyerengeh...]
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 16:31
Hmmhh..
Kalau saya teringat Diva, kenapa yang paling gamblang gambarnya itu Mas Azzet, ya? Kangen saya sama suaranya yang lembut mendayu mblethak-mblethuk seperti priyayi nJombang itu.
Beneran.
Btw, sedang nulis buku apa sekarang, Mas?
[Reply]
June 11th, 2011 at 06:27
@ All
Menarik sekali membaca artikel ini…Dengan judul mencari kebenaran.
Beberapa kutipan, a/l:
1. Tuhan – suatu konsep yang terus berevolusi.
2. Adakah engkau di surga sana oh tuhan? – Tidak, aku ada dalam otakmu.
3. Jelas bahwa manusialah yang menemukan konsep tuhan. Bukan sebaliknya.
4. Jadi tuhan itu tidak ada secara materi. Ia bukan sesuatu atau seseorang di atas sana, yang bertahta di surga, yang meminta dipuja-puji oleh manusia dan malaikat.
5. Tuhan yang dipahami oleh manusia adalah konsep untuk menunjukan adanya nilai2 kebaikan dan keburukan.
6. Konsep agama yang diusung oleh seseorang sebenarnya merefleksikan persepsi orang tersebut akan dirinya, alam, dan keterhubungan kesagalaan yang ada.
7. Jikalau idea-idea dalam kisah-kisah agama adalah symbol, seperti halnya surga, neraka, keabadian, dsb maka sebenarnya symbol-simbol ini mengacu pada apa?
Diatas adalah beberapa quote dari penulis yang saya coba copas…
Jika membahas tentang Allah Swt, adalah kita membahas suatu Dzat yang
tiada serupa dengan sesuatu apapun…sehingga effort yang harus difokuskan bukan kepada Dzat tersebut, wong tidak serupa dengan sesuatu apapun, jadi ya piye…., tetapi dalam mencari kebenaran tentang Allah Swt dapat ditelusuri pada pengenalan “Muhammad Hakiki” atau Sifat-Nya…dengan kata lain untuk mengenal Allah Swt harus mengenal “Muhammad Hakiki”…sebelum masuk ke pengenalan “muhammad Hakiki” didahului dengan pengenal Asma-Nya (Nama/sebutan), dan didahului dengan pengenalan Af’al-Nya (perbuatan-Nya).
Karena kita akan kembali kepada-Nya…maka kita harus mengenal sedari sekarang mengenai SIFAT-Nya, ASMA-Nya, dan AF’AL-Nya……Istilah saya penyatuan bukan pada DZAT-Nya, tetapi pada SIFAT-Nya, ASMA-Nya, dan AF’AL-Nya..
Bagi saya untuk mengenal Dzat-Nya, dimulai dengan kita berprilaku dan berbuat seperti Perbuatan-Nya..dan memang sejatinya bukan kita yang berbuat tetapi Dia. Setelah itu mengenal Asma-Nya yaitu Alif, Lam, Lam, Ha, disertai tasjid, jangan berhenti disini karena byk manusia yang sudah merasa nikmat di tingkat Asma-Nya, apakah kita mau kembali ke Asma?…lanjutkan pengenalan ke martabat Sifat-Nya (yang empat : Putih, hitam, merah, kuning), kenali dengan seksama ke empat unsur (Api, Angin/Udara, Air, Tanah) yang semua ada di diri kita…karena yang empat ini yang akan “mendampingi” kita untuk dapat “kembali” ke Dzat-Nya….
Saya bernama Dedot….Siapa itu Dedot? kalau saya menunjuk diri saya, ini adalah jasad atau jasmani yang nanti akan terurai lagi…jadi mana dedot nya, dedot yang sejati, atau sejati diri…kalau dedot saja tidak pernah bertemu dengan “dedot”…jangan harap kita bisa bertemu atau kembal ke Allah Swt (kecuali dengan Kodrat- IRadat-Nya) yang empunya “dedot”…jika sudah ketemu “dedot” maka “dedot” yang akan mengantarkan ke Allah Swt, sehingga Kebenaran yang sejati akan dirasakan dengan utuh/kaffah….
Salam
Dedot
[Reply]
ABang Reply:
June 11th, 2011 at 20:17
Betul, betul, Kang. Ke dalam, bukan ke luar. Menyusur ke dalam, maka akan memancar ke luar.
“Kemanapun aku pergi, bayang2-Mu mengejar. Bersembunyi di manapun, selalu Engkau temukan. Aku merasa letih, dan ingin sendiri… Kutanya pada siapa, tak ada yang menjawab. Sebab semua peristiwa, hanya di rongga dada. Pergulatan yang panjang, dalam kesunyian… Aku mencari jawaban di Laut. Kubawa langkah menyusuri Pantai. Aku merasa mendengar suara. Menutupi jalan, menghentikan petualangan… Aku ingin Pulang… Aku harus Pulang…,” kata Kang Ebiet.
[Reply]
benkunawi Reply:
June 12th, 2011 at 05:52
……….. (((((.)))))………
[Reply]
Dedot Reply:
June 14th, 2011 at 03:03
@ ABang
Iya bang, ke dalam…terus ke dalam…temukan “mutiara” yang ada di dalam..
Seperti kutipan kisah dibawah ini :
“Bertanya garam kepada laut…”Siapakah Aku?.. sambil tersenyum laut menjawab…datanglah kepadaku…! maka kau akan tahu siapa dirimu..” Sang garam pun kemudian datang, dan menceburkan dirinya ke laut…., semakin dalam ia memasuki dasar laut.. ia semakin larut…. sesaat sebelum sang garam yang tinggal setitik debu itu hancur luluh…., ia tersenyum dan menangis bahagia….. ”Sekarang…aku tahu siapa aku.”..
Siapa mengenal “diri” nya akan mengenal tuhan nya, siapa yang mengenal Tuhan nya, kelu lah lidah nya….hanya bisa diam termenung merasakan dan larut….
Salam
Dedot
[Reply]
June 12th, 2011 at 05:13
pulang dooooong
[Reply]
ABang Reply:
June 12th, 2011 at 07:05
Iya, Say. Ini lagi syahdu dengerin lagunya Kang Ebiet, “.. aku ingin Pulang.. aku harus Pulang..” Ailapyulah. Suwer.
[Reply]
June 12th, 2011 at 15:05
Wa’alaikumsalam. We-eR. We-Be
Sepertinya ngga selesai ini kalo di terus2in, bakalan panjang kali lebar – kali tinggi – kali luas di kali lagi dgn lingkaran. atau kalo katanya ABang bakalan Novel, minimal Cerbung. Ngga mungkin sekelas cerpen ini model2 ‘segitiga empat sisi’ kayak gini. Karena daililnya udah jelas (ciee..) bahwa saya telah masuk ‘kandang macan’.
Meski masih ada “sesuatu yang ngganjel” yang mau ditanya2in lagi, tapinya ntar khawatir ngga bisa ketangkep maksud yang akan saya sampein. Selain ngga pinter pinter nulis. lagian, ngga etis deh diungkapin disini Kalo ngga bertemu langsung dengan ORANG YANG PUNYA BLOG ini. Sebab, Kalo bertemu langsung dengan orangnya, meski saya ngga pinter2 amat baca pikiran org, sedikit-banyak saya bisa menilai bahwa beliau bicara langsung ‘tanpa direncanakan terlebih dahulu’ untuk membalas komentar saya. Ups!
untuk ini saya cuman bisa bilang terima kasih ajalah buat Abah Abu Hanan, Abah Benkunawi, Syekh Dedot, Ustadz Fakhrul, Aki Khaerul Anwar, Ajengan Ghirobi ‘Yudha’ Al Fikri, Kyai Akhmad Muhaimin Azzet. Pokoknya semua gitulah dan terutama Syekh Almukarom (lemah) ABang.
Meski cuman dapet secuil2 pengertian Syahadat juga. hehe.. Siapa tahu besok atau kapan2 bisa ngerti Sejatining Syahadat atau mungkin malah jadi tambah bingung! (hehe.. Lagi)
Matur Tenqyu, dan selamat night.
[Reply]
ABang Reply:
June 12th, 2011 at 15:34
We-eR, We-Be juga.
Jadi terkenang eksen kernet bus Warga Baru Jakarta – Karawang, waktu saya dulu harus kerja PP tiap hari. “Terakhir! Terakhir! Terakhir! Langsung berangkat..!” begitu promonya. Tapi, nggak berangkat2 juga kalau belum dipelototin petugas Terminal Kampung Rambutan, hehe.
Monggo, Dikku sing ngguantheng. Nek sek ngganjel, siji meneh masih iso. Ta’jawab kontan deh, ‘tanpa direncanakan terlebih dahulu’. Hehe. Bar kuwi, cabut kita. Langsung berangkat..!
[Reply]
June 12th, 2011 at 16:15
Sumpah, susah Pak! Pengennya ketemu Sampeyan tok. Jatuh Cinta mungkin. Hehe.. Tapi sayangnya jauh. Via telphone pun juga ngga nyaman. Pengennya cuman satu tok. ketemu. Titik!
[Reply]
ABang Reply:
June 12th, 2011 at 16:24
Lah, apa enaknya ketemu saya? ‘Ntar malah main pedang2an pula, hehe.. Kan, gosipnya sudah ada itu bidadari ‘calon korban’ di deket2 pabrik semen sana?
[Reply]
Ayick Reply:
June 12th, 2011 at 18:37
Hahaha.. Biasa aja, ah Si ABang. Mm.. gimana, ya? beneran bingung saya mau ngomong apa. ditengah2 bingung. kok, nDilalah Di Radio Lokal daerah saya lagi nyetel lagunya Bang Haji yang ini. ada temen yang ber-joke sembari berkata:
Jika di alam kubur ada malaikat menanyakan siapa Nabimu, 100% jawabannya adalah BANG HAJI RHOMA IRAMA
Keadilan kau siasati itu demi aku
Hukuman rela kau jalani juga demi aku
Kebebasan kau belenggukan itu demi aku
Kharismamu engkau korbankan juga demi aku
…Di balik terali cintamu sejati
Betapa haru hatiku sedih
Indah dunia kaujauhi itu demi aku
Gembira ria kau tak lagi juga demi aku
Beban derita kautahankan itu demi aku
Sejuta siksa kaurasakan juga demi aku
Terali besi yang tegar perkasa
Tak akan mampu memisahkan cinta
Aku berjanji selalu setia
Menemanimu di dalam derita
Kau pasti akan kunanti walau sampai mati
[Reply]
June 13th, 2011 at 03:24
Semua yang terucapin disini, terlepas dari benar atau tidaknya. Saya ngga tahu. Karena dalilnya sudah jelas, seseorang akan rela mati demi sebuah keyakinan yang mereka yakini. Karena dari awal sudah terdoktrin dgn begitu sempurna. Maka,. seperti yang pernah saya dengar. Bahwa, apapun alasannya. minumnya teh botol sosro. Ups, apapun pilihannya adalah MATI demi sebuah keyakinan PANDANGAN KEBENARAN.
ketimbang ngganjel terus dan butuh ketemu untuk ngomonginnya jadi, mau atau tidak sebisa mungkin saya akan coba (caillah).
Ini MISALKAN saja, siloka atau symbol gitulah dan bukan patokan saya untuk “sesuatu yg ngganjel” ini. Jelas bukan!
Warna Biru! Hidup Biru! Setahu saya warna biru dalam pandangan mata saya ya, yang ini. karena mata saya dan mata sampeyan berbeda tempatnya, maka berbeda pula maksudnya. Karena terbatas oleh pandangan mata. maka, yang saya sebut biru itu tentu pasti sama dengan biru di pandangan org lain, padahal yang saya lihat ini adalah warna biru sesuai penglihatan yang saya lihat dan rasakan, bahwa inilah biru itu. tapi orang lain mengatakan sama seperti yang saya maksud tadi dengan pandangan entah dgn warna yg berbeda atau tidak, pedahal sama- sama birunya meski yg di lihat adalah warna lain. Begitu juga dgn warna2 hitam, putih, ungu, kuning, merah, hijau, orange, dan sebagainya
Bener ngga ya, ketangkep ngga ya?
Inilah yang susah, Bang. Semoga bisa ketangkep maksud saya. Kayaknya susah ini kalo ngga langsung ketemu orangnya.
H2C (Harap2 Cemas) hehe..
[Reply]
ABang Reply:
June 13th, 2011 at 18:05
Mengenai mati jasadi, terus terang.. nggak susah2 amat. Dibatas manusiawi, bahkan kita (manusia) ‘bisa menentukan’ kematiannya. Baik waktunya, maupun caranya. Dibatas manusiawi lho, ya. Ambil secuil sianida, kemudian telan. Tunggu semenit dua menit, lewat sudah. Kalau itu sulit didapat, bisa diganti seliter cairan obat nyamuk. Banyak di warung2. Atau, ambil pisau di dapur kemudian tancapkan yang dalam di dada kiri sampai tembus ke belakang. Iya, kan?
Jadi menurut saya, tidak perlulah kita ber-‘mati2an’. Tenang2 saja, keep calm. Allah hanya meminta dikenali. Kenalilah Aku, sesuai tataran mana Aku telah membuka bagimu. Sebab, mengenal Allah itu bukan ‘hak kita’. Kita ‘hanya bisa’ mengingat-Nya (wirid). Mengenai kemudian mengenal atau tidak, berpulang kepada-Nya (warid). Hakikatnya begitu. Kalau syariatnya, tergantung mujahadah kita.
Sudah, itulah. Dan, jika kita ‘merasa’ sudah mengenal, maka sesungguhnya masih belum. Masih mlaku2 di tepian pantai mencari Laut. Anginnya terasa semilir, harumnya terasa asin, ombaknya terasa riuh mendebur. Lantas, manakala kemudian sesuai hak-Nya si manusia tadi ‘kecemplung dan tenggelam’ di Lautan, ya sudah.. lebur semua ‘merasa2’ tadi. Apa yang masih dapat dirasakan oleh setetes air setelah ia kembali ke haribaan Lautan Tanpa Batas? Misahinnya lagi pun sudah nggak mungkin, bukan?
Mengenai blue color, itu benar. Seperti itulah. Dimana ‘masalahnya’, ya? Keyakinan kita, adalah sesuai dengan tataran kita masing2. Serupalah ini dengan kisah tiga orang buta memegang gajah yang terkenal itu. Satu memegang kupingnya, maka dia berkeyakinan gajah seperti kipas. Satu lagi memegang buntutnya, maka dia berkeyakinan gajah serupa tali. Yang lain memegang kakinya, maka dia berkeyakinan gajah seperti tonggak. Nah, keyakinan manakah yang benar? Yaa, benar semuanya, bagi masing2nya. Lantas, yang manakah ‘kebenaran’ gajah? Yaa, itulah.. keseluruhannya. Jika hendak, pegang semuanya. Sampai ke titit2nya, hehe.
Maka sekiranya kini Mas Ayick mendapatkan sebuah keyakinan, maka itulah ‘kebenarannya’ bagi sampeyan. Misalkan ‘kebenaran gajah’ bagi Mas Ayick adalah seperti tombak melengkung karena yang dipegang tadi pas gadingnya, maka itulah. Kebenaran2 parsial ini, jika digabungkan dengan lapang hati, akan mewujudkan kebenaran substansial sang gajah. Serupalah dengan ayat2 al-Qur’an, yang apabila ‘di-Satu-kan’, akan men-Dia.
Demikian, Mas. Semoga bisa memperjelas.
Salam
[Reply]
Ayick Reply:
June 13th, 2011 at 19:18
iya, Bang. Jelas, jelas sekali pake banget. membaca itu. seakan2 (caillah..)saya melihat dan mendengar bahwa sampeyan adalah Pangeran Sidharta Gotama yang berkhotbah Dhammacakka Pavattana sutta, didepan saya hehe.. . Dan mewejang saya untuk Samma ditthi (berkepercayaan yang benar ), Samma sankappa (Maksud yang benar), Samma vaca (.Kata2yang benar ), Samma kammanta (Perbuatan yang benar), Sama ajiva (Hidup yang benar ), Samma vayama (Usaha yang benar), Samma sati (Ingatan yang benar), Samma samadhi (Tafakkur yang benar). tenqyu. Kayaknya Guru ngaji saya dulu kelupaan ngasih beginian mungkin. hehe..
[Reply]
June 13th, 2011 at 15:07
Semakin banyak MEMBACA dan MENGKAJI ulang sejarah. Semakin banyak pula ketimpangan2 yang tidak kredibel. Termasuk Agama. sampai suatu derajat tertentu memang semuanya tidak faktual, namun sebagai satu kisah yang darinya nenek moyang kita berkontemplasi dan mengambil makna2 moral & etika lewat simbol dan figur ahistoris / legendaris dalam kisah-kisah yang selama ini kita percayai.
Jadi, yang penting di sini bukan benar atau tidak benarnya kisah Islam itu terjadi, karena jelas itu memang kisah rekaan, alias tidak pernah terjadi, namun dari kisah itu, apa yang bisa kita ambil sebagai bahan perenungan. Wis iku wae. Inilah point yang bisa ta’download dari semua ini.
Terima kasih AB.
[Reply]
ABang Reply:
June 13th, 2011 at 18:38
Saya tambahkan sedikit.
Jika kita memandang agama sebagaimana halnya pelajaran sejarah, maka ketidak-kredibelan yang dimaksud oleh Mas Ayick bisalah saya pahami. Yang namanya catatan, tulisan, atau gambar, pasti memuat subyektifitas relatif. Seobyektif apapun itu diusahakan, unsur subyektifitasnya tetap ada walau secuil. Setidak2nya subyektifitas dari sang pembuat. Jadi memang tidak bisa dimutlakkan.
Islam yang bermakna ‘keselamatan’ ini kemudian menjadi judul agama, Agama Islam. Maka, esensi Agama Islam bukanlah pada catatan, tulisan, atau gambarnya semata2; melainkan pada maknanya itu tadi. Mau judulnya ditambah dengan sub-judul sunni, syiah, kejawen, abangan, kaum nggoiril, sufi, dsb.. bagi saya bukan perkara inti. Sebab, intinya adalah syahadat; yang mempresentasikan derajat ketauhidan kita masing2 kepada-Nya. Sudah..
Terima kasih kembali.
[Reply]
June 14th, 2011 at 02:58
ngiring ngalangkung ah…..!!!!
kayaknya apa yang diungkapkan pakdhe ayick disini pernah saya alami juga, waktu itu pun saya bertekad untuk menumpas semua (yang saya anggap) kebathilan yang ada dalam diri saya, sesuai dengan doa saya, “wahai Tuhan, tunjukanlah kami Kebenaran dan karuniakanlah kami untuk (bisa) mengikutinya, serta tunjukanlah kami kebathilan dan karuniakanlah kami untuk (bisa) menyingkirkannya”.
hingga pada suatu saat, ada seseorang yang mengingatkan kepada saya, “hati-hati sobat, sesungguhnya KEBENARAN tidak dapat dicapai tanpa kesabaran, apalagi jika nafsu sudah mengikutinya, karena langkah seperti itu cenderung merusak jiwamu”, awalnya saya ndak percaya dengan apa yang beliau ucapkan, karena saya merasa apa yang tengah saya cari adalah sesuatu yang BENAR.
hingga seseorang yang lain mengingatkan kepada saya tentang sebuah hadits qudsi “Bahkan ma’rifat-Ku bisa menjadi hijab antara AKU dan hambaku”.
dan sebuah firman-Nya “manusia akan tunduk dan patuh kepada-KU dengan sukarela atau pun terpaksa”, bagi saya ini adalah sebuah pilihan, dengan terpaksa kah, atau dengan sukarela, silahkan anda memilih sendiri caranya.
[Reply]
June 14th, 2011 at 17:36
@ Syekh Benkunawi : Makasih.
@ ALL : Boleh ngga saya ngomong begini hehe.. Tuhan dalam pemahaman saya adalah totalitas kesegalaan yang ada dalam kehidupan ini. Jadi, Tuhan itu bukan mahluk besar berjenggot yang suka ngintip ke bawah, ke alam manusia. Tuhan adalah kesegalaan yang ada, termasuk sampeyan2 semua dan saya.
Sama seperti kata ‘YHWH’ yang dalam mistik yahudi tidak bisa diucapkan, nah TUHAN itu memang tidak bisa ‘diperikan’. karena TUHAN itu totalitas kesegalaan yang ada. Tuhan itu bukan sesuatu atau seseorang (laisa kamislihi syai’un), atau suatu pihak di seberang sana. Penggambaran saya pada TUHAN sebenar-benarnya hanya sebatas penyebutan. Tuhan yang dikomunikasikan adalah tuhan abstrak.
Tuhan yang adalah nama lain dari KEHIDUPAN dan SEMESTA ALAM memberkati , menyayangi, mengasihi,melindungi, dan menyinari kita dengan wajah-Nya, serta memberi kasih karunia dan damai sejahtera bagi kita semua.
[Reply]
benkunawi Reply:
June 16th, 2011 at 11:04
se7 pakdhe….
[Reply]
abu hanan Reply:
June 17th, 2011 at 18:15
jika tuhan nama lain dari kehidupan/alam semesta,lantas apa nama lain dari kematian/ke-hampa-an?
apakah tuhan berada pada keduanya?
atau meliputi keduanya?
atau berada di luar keduanya?
tuhan menyiksa,mengazab dan menggelapkan kita semua dengan punggungNya serta mencabut kasih dan memberi onar bagi kita semua.
tuhan tidak bisa dibatasi dengan “kebaikan” meski tuhan maha baik.
tuhan tidak bisa dibatasi dengan “kejahatan” meski tuhan sangat pedih.
tuhan bukan sesuatu yang abstrak
abstrak adalah terkait dengan wujud/mata lahir
diawali mengenali diri dan diakhiri mengenali tuhan
diawali mengenali tuhan dan diakhiri dengan mengenali diri.
sehingga tiadalah syariat-hakikat-makrifat dan segala macam ke-ada-an…
tiada kecuali pemilik ke-tiada-an itu sendiri.
semoga bisa jadi bahan perenungan.
[Reply]
June 15th, 2011 at 11:56
@mas ayick
Petunjuk dan definisi TUHAN sudah sangat jelas didalam al-quran majazi dan itu harus kita jadikan guidance dan guidelines dalam menelusuri proses kembali kepada Nya.
Yang sekarang hrs dijadikan concern dalam penelusurannya, carilah ‘ayick’ nya dulu atau Sang Pribadi atau ‘guru mursyid’ sebelum bertemu Yang Maha Mursyid. Niscaya definisi Tuhan akan dengan ‘rasa’ yg lebih luhur…dan Dia yang akan membimbing perjalanan selanjutnya…
Salam
Dedot
[Reply]
June 15th, 2011 at 22:47
Abang,, aku skrg numpang nyengir dulu ya,,,
[Reply]
June 16th, 2011 at 07:16
Wuih, rame diskusinya nih, sampe 60 comment , ikutan nimbrung ya pak biar ikut dapet jatah pencerahan.
Manusia, dalam mengenal tuhan, menggunakan 3 pendekatan. Ada yang menggunakan pendekatan logika, ada yang menggunakan pendekatan rasa, dan ada yang menggunakan pendekatan cerita.
Manusia yang menggunakan logika. Akan mendaya-gunakan otaknya untuk menemukan bukti secara bahwa tuhan ada atau tidak ada secara ilmiah. Perangkatnya adalah ilmu pengetahuan. Penelitiannya harus metodologis dan logis. Ga boleh maen kira-kira. Yang saya tahu, para ilmuwan seperti ini mentok pada pembuktian ada atau tidak adanya ruh. Sebagian ilmuwan percaya, sebagian lainnya skeptis. Yang percaya adanya ruh, akan dengan gampang mengambil kesimpulan bahwa di balik semua materi yang ada, ada yang immateri. Sampai tidaknya sang ilmuwan terhadap yang Maha Materi dan Maha Immateri, itu terserah Dia. Syariatnya, sang ilmuwan harus terus bereksplorasi dan melakukan penelitian terhadap apa yang nampak maupun tidak, sesuai bidangnya masing-masing. Itulah “dzikir” sang ilmuwan.
Manusia yang menggunakan rasa, disebut juga para spiritualis. Kebalikan dari ilmuwan, mereka tidak menggunakan bukti empiris untuk mencari tuhan. Mereka mencoba merasakanNya di setiap keadaan dan keberadaan. Mereka menyusuri emosi dalam dirinya, mengamati pikiran-pikirannya, menikmati setiap sensasi panca indranya. Alat yang digunakan adalah rasa. Penelitiannya dengan cara meditasi, solat, dan menjalani hidup sehari-hari.
Karena barometer yang digunakan adalah rasa, tentu saja pakai kira-kira, tidak pasti, dan tidak dapat diukur. Dalam ilmu ekonomi, orang banyak uang akan bahagia, tapi dalam ilmu rasa, orang banyak uang bisa saja sengsara. Kebenaran rasa seseorang tidak bisa dibandingkan dengan orang lainnya. Karena rasa itu 1000% subjektif. Percuma saja memperdebatkan rasanya jatuh cinta, karena tidak akan pernah bisa ditunjukkan bentuknya. Yang ada hanya tanda-tanda. Tanda juga bukan sebenar-benar rasa. Coba mari kita perdebatkan, suami manakah yang lebih mencintai istrinya, a) Yang membelikan istrinya cincin, atau b) yang mengajak istrinya makan malam? (soal ini buat yang udah punya istri aja pak, karena saya belum, jadi saya terbebas dari kewajiban untuk menjawabnya )
Nah, karena yang bisa diukur adalah tanda-tandanya saja, cincin sama makan malam tadi, banyak yang akhirnya berdebat masalah tanda. Bahwa a lebih baik daripada b, atau sebaliknya. Padahal dua-duanya tidak berguna. Karena yang merasakan yang cuma dua pasangan tadi. Maka benarlah rasa cinta bagi mereka sesuai dengan rasanya masing-masing. Yang lain cuma dapet cerita katanya.
Karena tidak ada metodologi yang jelas, maka syariatnya para spiritualis adalah menjalani hidup. Laboratoriumnya bumi-langit luar-dalam. Saking luasnya laboratorium ini, maka jebakan betmennya tak bisa dihitung. Maka muncullah berbagai agama, aliran, kepercayaan, ritual, yang sudah maupun belum diketahui saat ini. Mana yang lebih benar? Lagi lagi banyak yang memperdebatkan hal ini. Wajar sekali, karena wujud nama dan tata cara inilah yang bisa diukur. Dan lagi-lagi, percuma berdebat masalah teknis, karena yang merasakan adalah yang menjalaninya. Jadi benarnya bagi masing-masing.
Menurut saya, “dzikir” para spiritualis adalah terus berusaha mendekati kebenaran yang lebih benar dari kebenaran sebelumnya. Karena kebenaran sendiri berlapis-lapis sampai lapis yang tak terhingga. Kenapa begitu? Karena benar (al-haqq) adalah sifat Dia yang Maha Tak Terhingga.
Lupakan masalah berbagai macam tatacara tadi, kalau mau, coba saja semuanya. Daripada merasa paling benar, lebih baik posisikan diri ini sebagai orang yang paling salah. Selama niat yang dipasang adalah untuk menemukan kebenaran. Maka suatu saat, Sang Maha Benar akan mengenalkan diriNya.
Terakhir, manusia yang mendekati tuhan dengan cerita. Mereka adalah saya dan sebagian besar manusia yang belum membuktikan bahwa alqur’an, injil, taurat, zabur atau riwayat agama lainnya adalah sebuah kenyataan. Baik menggunakan metode ilmiah maupun menggali rasa. Baru berupa manual book to heaven. Belum jadi perjalanan, tapi masih kisah perjalanan.
Kesimpulannya, mau pakai cara ilmiah, olah rasa, atau baru mulai tertarik karena mendengar cerita, semuanya benar. Yang salah adalah kalau kita merasa paling benar lalu menyalahkan cara orang lain. Ada baiknya kalau kita selalu merasa lalu mencari mana yang benar. Dan kalaupun sudah merasa mendapatkan yang benar, lalu mendoakan bagi yang belum agar ketemu jalannya, syukur-syukur kalau mau berbagi kendaraan (*lirik-lirik ABang).
Yang terpenting, seperti kata ABang saya, adalah niat. Sampe sekarang niat saya ini masih belum tegak lurus. Malah tambah banyak cabangnya kayak pohon durian. Tapi ditengah ketidaklurusan itu saya tetap berjalan, semampu saya untuk memotong cabang-cabang niat yang mengganggu. Berharap sedikit demi sedikit menguak kebenaran demi kebenaran. Itulah mujahadah saya, “dzikir” saya, selanjutnya… Terserah Dia.
[Reply]
June 16th, 2011 at 10:46
@ Andro : . makasih Mas, sangat mencerahkan!
[Reply]
June 21st, 2011 at 18:47
Baca artikel ini mulaI dari awal ARTIKEL sampe dgn akhir KOMENT ini, yang dapet saya tangkep ada tiga. Adalah mengajarkan KEBIJAKSANAAN, KESYUKURAN, DAN PENGETAHUAN.. Hehe.. Terima thanks seBrother lan sederek sedoyo.
[Reply]
andro Reply:
June 22nd, 2011 at 06:20
Berjalan menuju Dia itu mudah mas, atau malah susah ya?, hehe…
Yang diperlukan cuma niat. Ikhlas menuju Dia. Kita tinggal memelihara niat ini agar tetap lurus dan tidak bercabang-cabang. Niat inilah modal kita. Niat inilah yang akan ‘dinilai’. Niat inilah yang akan menentukan kita akan sampai atau tidak.
Adapun tentang cerita perjalanan, maka bermacam-macamlah itu. Buktinya, ABang kita sampai bisa bikin 3 novel bestseller darinya (kabarnya akan terus bertambah, dan saya bakal dapet jatah free copy-nya ).
Perjalanan setiap individu itu berbeda. Ada yang lurus-lurus. Ada yang berkelok-kelok. Ada yang muter-muter. Ada yang… macem-macemlah pokoknya. Dan dalam perjalanan itulah ajang pembuktian atas keteguhan niat kita. Akankah kita bertahan? Atau menyerah?
Yang bertahan, dia akan tetap ingat akan niatnya melakukan perjalanan. Dia akan fokus menatap tujuan akhir, Dia Yang Maha Akhir. Tak peduli seberapa menyesatkan perjalanan yang dilalui. Tapi pikiran dan hatinya hanya diarahkan ke pada Sang Tujuan. Dia hayati betul bahwa inna lillah, wa inna ilaihi rooji’un. Itulah proses mengingat, wirid kita, mujahadah kita secara syari’at. Suatu saat, atas rahmat dan hidayahNya. Dia akan “menjemput” kita. itulah saat kita menjadi yang diingat, menjadi warid, orang yang dikehendaki.
Yang tersesat karena kurang teguhnya niat. Akan terlena dengan pemandangan selama perjalanan. Lupa akan tujuan semula, akhirnya tidak pernah menemukan jalan kembali…
Semoga kita termasuk orang yang diberi kemampuan untuk istiqomah menjaga niat. amin.
[Reply]
fakhrul Reply:
June 23rd, 2011 at 14:31
#Semoga kita termasuk orang yang diberi kemampuan untuk istiqomah menjaga niat. amin.
amin
#(kabarnya akan terus bertambah, dan saya bakal dapet jatah free copy-nya Grin ).
mau juga ah. wkwkwkw
[Reply]
June 24th, 2011 at 19:53
Abang
sudah makan siang ???
[Reply]
July 16th, 2011 at 15:22
@abang
ganti blog ya? kayaknya g pernah di kunjungi lagi ni blog?
[Reply]
August 1st, 2011 at 08:59
sebelum jauh melangkah, yakinkah pemikiran dan akal sudah tepat untuk digunakan sebagai alat untuk mempertanyakan hal ini ?
entahlah..
[Reply]