Rabu, 11 Januari 2012 – DialogFOTO kali ini diawali dengan pemutaran film dokumenter Jugun Ianfu yang berjudul “We Were Beautiful”, yang diputar adalah versi edukasi berdurasi 20 menit 20 detik. FIlm ini berisi wawancara Hilde Janssen dengan para Jugun Ianfu. Banyak cerita dan kesedihan yang diekspresikan Jugun Ianfu ini. “Wedi, Wedi, nang njero isih wedi, mbrebes, kelingan omah…” ujar Paini ketika diwawancara Hilde.
Usai berakhirnya film dokumenter ini, 80 peserta memulai dialog dengan pembicara Paring Waluyo, peneliti sekaligus sosiolog, dan didampingi Edy Purnomo, fotografer freelance.
Edy Purnomo lebih menjelaskan konsep dibelakang pemotretan, sesuai dengan apa yang di sampaikan Jan Banning pada Coaching Lecture. Jan Banning melihat sejarah bahwa saat tentara Jepang hendak “menggunakan jasa” Jugun Ianfu, para tentara memilih foto-foto dari para Jugun Ianfu, notabene yang dilihat adalah pas foto. Maka pendekatan pas foto inilah yang di gunakan oleh Jan Banning untuk membuat portrait Jugun Ianfu.
Bagaimana mendapatkan ekspresi yang begitu emosional? “Pada saat wawancara terdapat titik klimaks dimana mereka sangat emosional, lalu mereka di foto di mini studio, ” ujar Edy Purnomo menjelaskan dengan penuh semangat. “Personal Approach merupakan pendekatan yang “lebih” daripada menggunakan pendekatan dia (Jan Banning) sebagai fotografer”, tambah mas Edy. Portrait yang dihadirkan memang merupakan representasi jaman sekarang, “Namun ketika kita melihat foto-foto ini dan membaca caption, kita akan dibawa ke masa lalu,” ujar mas Edy.
Diskusi berlanjut dengan pemaparan mas Paring tentang sejarah kelam ini. Dimulai dari bagaimana praktik ini terjadi? itulah pertanyaan yang harus dikuak lebih awal. Pada jaman perang pasifik, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan yang melarang PSK Jepang pergi ke luar negeri untuk melayani tentara Jepang. “Hal itu dilakukan untuk menghindari rasa malu Kekaisaran Jepang pada waktu itu”, ujar mas Paring. Kemudian pemerintah Jepang melegalkan rumah bordil di kawasan jajahan Jepang, dengan tujuan penyakit kelamin tentara jepang bisa berkurang. Selain itu, Jepang membutuhkan jumlah pasukan yang masif dan on call. “Untuk menghindari cuti keluarga bagi tentara Jepang, rumah bordil menggantikan peran istri mereka di rumah,” tambah mas Paring.
Diskusi mengalir dengan sesi pernyataan dari pengunjung. Aman, salah satu pengunjung, berujar bahwa pemimpin kita tidak pernah jujur dalam hal sejarah, karena semua sejarah Indonesia tersimpan semua di musium di Belanda. “Saya juga baca buku tamu, ada anak SMP yang menulis Kok nggak ada di Buku Pelajaran,” ujar Aman.
Berbicara soal sejarah Indonesia, kekuasaanlaah yang menjaga mana informasi yang boleh dan mana informasi yang tidak boleh terkuak. “Masih ingatkah kalian ketika jaman SD kita diwajibkan menonton film G30SPKI? Dimana itu merupakan sebuah doktrin kepada generasi muda saat itu, namun apakah kenyataannya demikian?”, ujar mas Paring sembari bertanya kepada audience. Hari ini seharusnya anak-anak SD atau SMP sudah mendapatkan arus informasi yang benar tentang sejarah Indonesia. “Maklum saja ada anak SMP yang berkomentar seperti itu (Kok ndak ada di Buku Pelajaran). Forum seperti ini menjadi berharga untuk mendapatkan informasi yang tidak tersampaikan dalam sejarah,” tambah mas Paring.
Yudistira, salah satu audience, mengatakan bahwa sayang sekali sejarah seperti ini terlewatkan, “ada mata rantai yang hilang, di sini kita dihadapkan pada sejarah masa lalu yang kelam, kenapa sejarah selalu ditujukan kepada heorisme, nama mereka pantas dijadikan nama jalan, karena mereka juga pahlawan. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, ” papas Yudistira.
Mas Edy menambahkan bahwa sejarah tidak akan lepas dari fotografi sesuai dengan fungsinya, “Kita lebih melihat fotografi lewat keindahan Indonesia, Mooi Indo, karena kita kehilangan sejarah, yang secara fotografi tidak kita capture. Dan sekali lagi Jan Banning yang meng-capture-nya,” papar mas Edy.
Sebagai pengamat feminisme, Wahyu Handayani lebih tertaik pada judul Comfort Women. “Kita harus melihat dari akarnya, Jepang sebagai negara patriarki saat itu, dimana dalam kekaisaran meng-agung-kan lelaki, dampaknya bisa kita lihat, termasuk pada Foto-foto yang ada di depan kita ini, ” ujar mbak Wahyu. Ironis memang, ketika kita melihat poster-poster propaganda Jepang yang di display di pameran, Lelaki mendapat kemuliaan dari perang, sebuah permasalahan gender yang hadir pada akhirnya. “Poster propaganda jaman Jepang berisi tentang macoism, heroism para tentara Jepang. Kebalikan dari itu, foto Jan Banning adalah korban yang secara psikologis berdampak sangat panjang,” tambah mas Edy.
Mengakhiri diskusi ini, mas Paring menyatakan bahwa foto-foto Jan Banning ini menghadirkan struktur ketidak-adilan, ketimpangan dan eksploitasi. “Pameran ini memberi suara kepada yang tidak punya suara, memberikan ruang kepada yang tidak punya ruang,” kata mas Paring sembari mengakhiri diskusi sore hari itu. (Wiwid)
Maju terus dan tetap semangat ^_^